1. Kwee Tek Hoay
2. Marah Roesli
3. Muhammad Yamin
4. HAMKA
5. Armijn Pane
6. Sutan Takdir Alisjahbana
7. Achdiat Karta Mihardja
8. Amir Hamzah
9. Trisno Sumardjo
10. H.B. Jassin
11. Idrus
12. Mochtar Lubis
13. Chairil Anwar
14. Pramoedya Ananta Toer
15. Iwan Simatupang
16. Ajip Rosidi
17. Taufik Ismail
18. Rendra
19. N.H. Dini
20. Sapardi Djoko Damono
21. Arief Budiman
22. Arifin C. Noor
23. Sutardji Calzoum Bachri
24. Goenawan Mohammad
25. Putu Wijaya
26. Remy Sylado
27. Abdul Hadi W.M.
28. Emha Ainun Nadjib
29. Afrizal Malna
30. Denny J.A.
31. Wowok Hesti Prabowo
32. Ayu Utami
33. Helvi Tiana Rosa
Sebagian Reaksi dan Petisi atas Buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh"
Tak pelak buku tersebut menuai reaksi di kalangan pemerhati sastra Indonesia, bahkan kalangan 'kontra' lebih menggaung ke seantero jagat internet. Pada 7 Januari 2014 Saut Situmorang, Dwicipta, Einmond Esya, Faruk H.T., Nuruddin Asyhadie, dan Wahyu Adi Putra Ginting membuat petisi "Menolak Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh".
Berkaitan dengan terbit dan beredarnya buku 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH (KPG, 2014) susunan Tim 8 yang terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah (anggota), kami, atas nama pecinta sastra, guru bahasa dan sastra, ahli/kritikus sastra dan sastrawan, mengajukan petisi:
1. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menunda atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut.
2. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengadakan atau memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut, yang di dalamnya termasuk pengujian validitas metode pemilihan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Yang dimaksud sebagai pengujian validitas metode pemilihan di sana adalah pengujian terhadap ketepatan prinsip-prinsip metode, peraturan atau kriteria, postulat atau dalil, bukti, pembuktian, dan argumentasi.
3. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengambil langkah tegas pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen, apabila hasil pengujian menunjukkan adanya kesalahan fatal metode pemilihan dan isi buku tersebut.
Di samping petisi tadi, tentunya juga tanggapan kalangan sastrawan dan pemerhati sastra. Â Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
"Apa yang aneh kalau Denny J.A. yang berlebih uang itu menukar modal finansialnya dengan modal sosial? Kok repot amat analisanya? Panitia atau kuratornya jelas dibayar (mahal). Soal teori atau himpunan itu dibuat-buat saja supaya di dalam pembaiatan tidak terlalu vulgar," ujar Puthut EA (Tribunnews, 6 Januari 2014).
Dalam opini Rekayasa Sastra (Majalah Tempo, 9 Januari 2014) Kandidat Doktor Firman Fenayaksa menuliskan, "Polemik tersebut muncul ketika Denny J.A., yang lebih dulu dikenal sebagai konsultan politik, masuk ke dalam 33 sastrawan berpengaruh bersama Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Hamka, Taufiq Ismail, dan Goenawan Mohamad. Sehebat apa sebetulnya sepak terjang Denny J.A. di dunia kesusastraan sehingga Tim 8 bisa mengesampingkan sastrawan besar lainnya, seperti Sitor Situmorang, Utuy Tatang Sontani, A.A. Navis, dan Seno Gumira Ajidarma? Sedangkan Denny J.A. yang baru menerbitkan satu buku pada 2012, tiba-tiba saja namanya dianggap tokoh sastra dan berpengaruh?"