Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tempat Belajar Bertoleransi yang Nyata, Rasional, Ideal dan Potensial

30 Mei 2017   07:40 Diperbarui: 30 Mei 2017   10:18 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Landasan spiritual (mengenai hakikat Sang Pencipta) merupakan landasan spiritual pula bagi nilai dan sikap toleransi antarmanusia, termasuk antarwarga negara Indonesia. Seyogyanya begitu, ‘kan? Tidak perlu klaim-klaim apa pun atas suatu kebenaran mengenai hakikat Sang Pencipta, jika klaim-klaim itu justru terungkap (termanifestasi) dalam bentuk intoleran, karena Sang Pencipta juga Sang Maha Toleran.

4. Tempat-tempat Lain

Selain rumah dan lingkungan sekitar, tidak jarang orangtua mengajak anaknya berkunjung ke suatu tempat, entah tempat belanja, makan (kuliner), wisata, dan tempat-tempat umum lain-lain. Tempat-tempat semacam itu sangat terbuka kepada orang-orang berbeda SARA dalam tempo tertentu.

Tempat belanja atau pusat belanja, baik tradisional maupun moderen, misalnya. Apakah yang berjualan dan berbelanja dilakukan oleh dan untuk satu golongan saja?

Di sini juga orangtua bisa memberi pembelajaran nilai dan sikap toleransi itu. Misalnya perbedaan etnis penjual dan pembeli (konsumen) tetap tetap dalam satu tujuan bersama, yaitu pasar (jual-beli) untuk kebutuhan sekaligus keberlangsungan hidup manusia.

5. Lembaga Pendidikan sebagai Media Pendidikan Formal I

Terkecuali sekolah di rumah (home school) atau belajar sekolah berbasis agama tertentu, tidak sedikit orangtua percaya lalu “menyerahkan” pendidikan anak-anaknya pada lembaga pendidikan, baik dasar, menengah, dan tinggi secara umum. Tentunya, di lembaga-lembaga tersebut (sekolah dan perguruan tinggi) juga mewadahi anak-anak bahkan para pendidik yang berbeda SARA-nya.

Di tempat ini para pendidik yang menjadi “orangtua” kedua, tentu saja, sudah pernah belajar, baik secara formal maupun informal, mengenai kehidupan bertoleransi. Apa yang dididik dalam lingkungan pendidikan, sudah pasti, menjadi bagian dalam pembentukan karakter para anak didik, khususnya dalam hal toleransi.

Tidak cukup pendidikan hanya karena sebuah kurikulum dan teori lantas penerapan nilai-nilai toleransi dikesampingkan dalam praktik bergaul antaranggotanya (anak didik dan pendidik). Pengalaman bersekolah dan berkehidupan toleransi para pendidik, seyogyanya, andil dalam pemahaman nilai-nilai toleransi para anak didik.

Agar kondisi toleransi tetap terjaga, peran pemerintah melalui Departemen Pendidikan, Direktur Jenderal Pendidikan, dan Dinas Pendidikan, sangatlah penting dalam pemantauan proses pengajaran nilai-nilai toleransi, dan pembentukan karakter toleransi berbasis Pancasila. Tetapi, pada kenyataan lain, adanya pemahaman yang keliru lantas tumbuh benih-benih intoleran, dari manakah sumbernya?

6. Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah atau Kampus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun