Ketika berharap, siaplah untuk kecewa. Â Namun jangan berhenti berharap, sebab harapan adalah cahaya yang harus dipelihara, sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan kita. Â Seperti kata pepatah Jepang jatuh 7 kali bangkit 8 kali, proses kegagalan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Â Jangan mudah putus asa, bangkit lagi, mencoba lagi, jangan-jangan kenikmatan itu sendiri ada pada kegagalan. Â Sikap menerima kegagalan adalah bagian dari proses keberhasilan.Â
Jangan menulis dengan harapan dibaca orang, kita akan kecewa, menulislah untuk kebaikan, pada akhirnya semesta yang akan menggerakkan orang untuk membacanya. Â Itu yang saya ingat dari seorang penulis besar.
Itulah yang saya tulis pada tahun 2021 di Kompasiana, tepatnya 17 Januari 2021 dengan judul Kompasiana Gila. Â Setelah saya selesai mengikuti penulisan secara maraton dengan berbagai tema. Â Kegilaan yang membawa hikmah yaitu dipaksa membaca dan akhirnya dituangkan dalam tulisan.
Rumus Menulis
Tidak ada rumus dalam menulis. Â Tulis, tulis dan tulis begitu kata Kuntowijoyo. Â Namun setiap akan menulis kita dipaksa mencari bahan bacaan yang bermutu. Â Jadi rumusnya, tulis - baca, baca - tulis dua kata yang saling bertaut untuk menghasilkan tulisan yang layak untuk dibaca orang lain.
Kita berharap tulisan tertentu jadi headline, ternyata tidak. Sebaliknya tanpa kita kira, ada tulisan yang beberapa hari kemudian jadi headline. Â Itulah mengapa diawal saya sampaikan jangan berharap untuk dibaca orang, dinilai orang, apalagi berharap jadi headline, jika tidak kita akan kecewa. Â Begitu selesai, jadwalkan, dan akhirnya tayang. Â Sesudah tayang, kita bagikan di platform medsos, niatkan sebagai upaya untuk berbagi pengetahuan.
Kalau tidak jadi headline, ya itulah kegilaan Kompasiana. Â
Tulisan ini diilhami karena di antara Kompasianers pasti pernah ada yang kecewa karena menurut dia tulisannya layak menjadi headline. Â Kekecewaan yang wajar karena energi menulis itu menguras pikiran, belum kopi yang tidak cukup satu gelas atau menghabiskan berbungkus rokok bagi penulis yang hobi merokok. Â Hehehe. Â Namun saat tulisan ditayangkan hasilnya tidak sesuai harapan. Â Marah, kecewa atau sedih berkecamuk jadi satu. Â Kompasiana pilih kasih, mulailah membandingkan tulisan kita dengan orang lain. Â Lalu timbul kesombongan tulisan kita lebih baik dari orang lain. Â Sepertinya tulisan dia tidak layak jadi headline. Â
Kemarahan inilah yang akan terus melanggengkan kegagalan kita, Â marah dan kecewa boleh tetapi tidak berkepanjangan. Â Mulai tarik nafas dalam-dalam, buang energi negatif. Â Mungkin ungkapan dari Umar bin Khatab ada korelasinya, Â Umar tidak khawatir doanya tidak dikabulkan, yang dia khawatirkan justru tidak mendapatkan taufik dan bimbingan untuk terus dapat berdoa. Â Doa itu kenikmatan, doa itu harapan. Â Seperti itulah penulis harus terus berikhtiar, Â dia tidak khawatir tulisannya tidak jadi headline, dia justru harus khawatir ketika dia berhenti menulis.
Teruslah menulis sampai tim moderasinya luluh karena kegigihan kita bukan karena belas kasihan. Â Teruslah menulis dan menulis, setidaknya kita akan memiliki gaya penulisan sendiri. Â Memilih diksi yang semakin pas, pembaca tersirap oleh tulisan kita. Terus berkarya saja, jangan terlalu dipikirkan status nilai dari tulisan yang kita buat. Karena Kompasiana memang gila. Gila mengajarkan kita dengan berbagai jurus. Namun pada akhirnya kita menemukan gaya penulisan kita.