Dia menunjukan foto putri kembarnya. Lucu dan cantik, persis seperti ibunya. Saya melihatnya menjadi kembar tiga ketika difoto dengan ibunya.
“Mereka penguat hati saya Pak” begitu dia menyampaikan pesan japri ke saya. Anak adalah bukti cinta dua manusia, lebih-lebih jika prosesnya melalui sebuah pernikahan. Nikah adalah prasyarat untuk memiliki anak. Itulah kelaziman dalam masyarakat kita.
Sebelum menikah tentunya kita telah memilki syarat-syarat tertentu untuk calon pasangan kita. Syarat utamanya adalah kesetiaan. Karena menikah sesungguhnya adalah ikatan atau mengikatkan diri pada komitmen. Siapkah diikat? Satu-satunya agar kita mau diikat dengan menyadari bahwa nikah adalah bagian dari ibadah, bahkan ibadah terindah. Dengan ini kita menyadari tugas kita adalah melanjutkan keturunan yang harusnya lebih baik dari kita. Tugas mulia bukan?
Menjalankan tugas mulia memang tidak gampang, akan banyak sekali godaan. Apalagi jika kemudian diuji dengan kemapanan. Godaan akan mampir setiap saat. Belum lagi benturan antarego selama dalam rumah tangga. Begitu banyak kiat-kiat yang yang ditulis para pakar untuk para pasangan. “Menghadapi Pasangan yang Ingin Menang Sendiri”, “Menaklukan Pasangan agar Tetap Setia”, “Melayani Pasangan agar Tetap Cinta”, dan sebagainya. Namun berapa banyak rumah tangga yang rontok.
Pandemi sekarang juga ujian, ternyata tingkat perceraian malah tinggi. Ekonomi ujian paling berat selain perselingkuhan dalam sebuah rumah tangga. Terbukti masa sulit pandemi mampu merontokkan banyak rumah tangga. Mungkin akan banyak tulisan tentang: “Mempertahankan Rumah Tangga di Masa Pandemi”, “Pandemi Ujian Ketangguhan Keluarga”, dan ide tulisan lainnya.
Kembali ke teman perempuan yang mencurahkan hatinya ke saya, setelah masa 6 tahun perceraian dia kembali membuka hatinya untuk pria yang lain. Dalam memilih pria berikutnya tentunya ia sangat selektif karena tidak ingin disakiti untuk kedua kalinya, tapi ternyata malah disakiti berakali-kali, untungnya belum terikat pernikahan.
Dalam memilih pria lainya, ia tidak ingin dicap sebagai perempuan yang gonta ganti pacar seperti penilaian anak kembarnya terhadap mantan suaminya, murahan, apalagi status janda yang melekat pada dirinya. Janda di masyarakat kita sering konotasinya kurang baik, padahal pada banyak kasus ia adalah para perempuan tangguh, yang harus siap menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya.
Mengapa saya menyebutkan teman tadi disakiti berkali-kali, karena setelah membuka pintu hatinya, ketika ia mulai jatuh hati dan serius dengan seseorang, sebutlah namanya AZ, tetapi pihak keluarganya keberatan karena status janda yang melekat pada dirinya. Putuslah hubungan yang sudah sangat berjalan dengan baik. Namun dibalik hatinya yang disakiti, teman saya mampu mengambil hikmahnya, seandainya pun jadi menikah, ia akan dipandang rendah oleh keluarganya.
Calon suaminya pun akan menjadi bayang-bayang saja karena sikap keluarganya. Saya bercanda harusnya justru janda itu mahal ya, seperti ketika melamar pekerjaan kan yang dicari yang sudah berpengalaman atau tanaman yang melekat kata janda malah mahal, contohnya tanaman Monstera Andosoni yang di sini dikenal dengan nama Janda Bolong. Sabar ya, itu saja kata yang bisa saya ucapkan.
Hubungan yang kedua sebutlah dengan yang namanya BZ, BZ adalah pria yang tidak mempermasalahkan status teman saya, pun juga keluarganya. Di hati teman saya BZ adalah kandidat terbaik. Namun takdir berkehendak lain, BZ dipanggil pulang oleh pemilik kehidupan. Kebahagiaan itu belum sempat terwujud, baru tahap awal proses.
Hubungan dengan keluarga BZ juga masih terjalin dengan baik. Sekali lagi teman saya tetap tegar menghadapi kenyataan yang menimpanya. Plong mendengarnya. Hikmah dari Pencipta selalu lebih baik. Bayangkan kalau saat itu kami jadi menikah, kemudian malah meninggal saat sudah menikah, kesedihan saya akan semakin bertambah. Kesedihan sebagai manusia biasa, karena saya bukan pesohor yang menjadikan hal itu untuk gimik dan panjat sosial.