Mohon tunggu...
GuruMu
GuruMu Mohon Tunggu... Saya Merupakan Guru Bahasa Indonesia

Jika pengalaman adalah guru terbaik, maka pengalaman terbaik saya adalah menjadi guru. Ikuti akun saya dan jangan lupa baca kemudian like agar saya semangat menulis hal-hal baru yang bermanfaat dan menghibur kalian guys. Salam literasi👍L

Selanjutnya

Tutup

Horor

Bu Rita

7 Oktober 2025   19:30 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:29 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Rita- merupakan guru Bk yang tidak hanya sekadar guru. Guru yang tidak hanya mampu melihat potensi siswa- namun juga mampu melihat...

Setiap siswa SMP Sang Surya tahu: ada tiga hal yang harus dihindari di sekolah ini. Nomor satu, bolos saat upacara. Nomor dua, ketahuan merokok di toilet. Dan yang paling utama, Bu Rita.

Bu Rita bukan hanya guru Bimbingan Konseling (BK); dia adalah manifestasi hidup dari disiplin yang mencekam. Galaknya melegenda. Tatapannya tajam seperti ujung pulpen yang siap mencatat nama pelanggar. Tapi, yang paling menakutkan, adalah Ruang BK-nya. Sebuah ruangan sempit di sudut koridor belakang yang selalu terasa dingin, bahkan di siang hari. Bu Rita merupakan guru BK yang diyakini memiliki mata yang menembus waktu. Ia tak hanya melihat dosa hari ini, tetapi juga bayangan kelam dari masa lalu sekolah.

Permasalahan yang diangkat kali ini bukan tentang kenakalan murid saat ini, melainkan misteri yang menggantung selama lima tahun: hilangnya Lina, seorang siswi berprestasi yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kasus ditutup sebagai pergi tanpa kabar, namun ada desas-desus Lina bunuh diri di lingkungan sekolah karena tekanan.

Malam itu, Rian, seorang petugas Osis yang sedang bertugas mendokumentasikan arsip lama di ruangan BK, secara tak sengaja menemukan sebuah foto polaroid usang di balik lemari arsip. Foto itu adalah Lina, dengan wajah yang tampak ketakutan, berdiri di depan Ruang Musik tua yang sudah lama tak terpakai.

Rian, yang penasaran, menunjukkan foto itu kepada Bu Rita keesokan harinya.

Bu Rita menatap foto itu. Ia tidak menunjukkan keterkejutan. Sebaliknya, ia mengambil foto itu dan meletakkannya di atas meja, di samping sepotong pita merah tua yang selalu ia simpan di dalam laci.

"Kau berani mengusik tidur nyenyaknya, Rian," ujar Bu Rita, suaranya sedingin angin malam.

"Maksud Ibu? Semua orang bilang Lina pergi, Bu. Tapi foto ini... dan saya merasa ada yang aneh di Ruang Musik," kata Rian, bergidik.

Bu Rita membalik foto Lina. Di belakang foto itu, Bu Rita telah menuliskan dengan tinta hitam rapi: 'Pilihan yang Tak Terucapkan'.

"Lina tidak pergi. Dia ada di sini. Jiwanya terikat pada ketidakadilan," kata Bu Rita. "Aku memanggilmu bukan untuk mendengarkan teori konspirasi. Aku memanggilmu karena aku ingin tahu: Apakah kau datang ke sini karena kau sudah kapok mencari tahu kebenaran yang menyakitkan, atau karena kau tahu aku sudah tahu bahwa kau adalah kunci untuk menguak simpul takdir Lina?"

Rian mematung. Ia tidak tahu bagaimana Bu Rita bisa tahu bahwa ia memiliki rasa bersalah karena dulu ia tak berani membantu Lina saat ia dirundung.

Bu Rita mengambil pita merah tua itu dan melilitkannya di pulpen. "Pita ini, Rian, adalah pita yang sama yang diikatkan Lina di pergelangan tangannya sebelum ia menghilang. Itu adalah simbol perjanjian."

Tiba-tiba, mata Bu Rita di balik kacamata memancarkan kilauan biru kehijauan yang samar. Aura ruangan menjadi berat.

"Lina tidak bunuh diri, Rian. Dia disembunyikan. Oleh seseorang yang ingin mengambil nilai ujiannya---seseorang yang Lina ancam akan ia ungkap kecurangannya. Orang itu sengaja membuatnya terlihat seperti bunuh diri karena tekanan akademik," bisik Bu Rita, matanya menatap lurus ke dinding di belakang Rian.

"Siapa, Bu? Siapa yang melakukan itu?" tanya Rian, tenggorokannya tercekat.

Bu Rita tidak menjawab. Ia hanya menggeser pulpen yang terlilit pita merah tua itu ke arah Rian. "Ambil pulpen ini. Malam ini, kau pergi ke Ruang Musik tua itu. Masuk, dan tulislah kebenaran yang telah aku tanamkan di kepalamu."

"Saya takut, Bu..."

"Takut?" Bu Rita tersenyum dingin. "Lina sudah kapok hidup dalam ketakutan. Kini giliran kau yang tahu bahwa kebenaran harus dibayar dengan keberanian. Kau akan menemukan sisa-sisa buku harian Lina di balik piano tua. Tuliskan nama pelakunya di halaman terakhirnya."

ilustrasi ruang musik tua di sekolahan Sang Surya
ilustrasi ruang musik tua di sekolahan Sang Surya

Rian pergi dengan  ketakutan luar biasa. Ia melakukan apa yang diperintahkan Bu Rita. Di Ruang Musik yang berdebu dan dingin, ia menemukan buku harian Lina. Di halaman terakhir yang kosong, ia merasakan dorongan kuat yang tak tertahankan. Dengan pulpen yang terlilit pita merah, tangannya menuliskan satu nama yang mengejutkan: Bara. Bara adalah teman sekelas Lina, yang kini menjadi mahasiswa sukses.

Keesokan harinya, Rian menyerahkan buku harian itu kepada Bu Rita. Bu Rita membacanya, mengangguk puas.

"Bagus. Kau telah menunaikan hutang kebenaran," kata Bu Rita. "Polisi akan mendapatkan bukti baru. Buku harian ini adalah kesaksian terakhir Lina."

ilustrasi buku harian Lina
ilustrasi buku harian Lina

Saat Rian bertanya bagaimana Bu Rita tahu semua detail itu, Bu Rita hanya menjawab sambil menatap jam pasir di sudut ruangan.

"Dinding sekolah ini adalah pita perekam dari semua emosi, Rian. Aku tidak mencari bukti, aku hanya mendengarkan gema penyesalan yang terkuat. Bara, sang pelaku, sudah tahu kebenaran ini tidak akan selamanya terkubur, tapi ia tidak kapok untuk hidup dengan kebohongan. Sekarang, giliranku untuk membuatnya kapok."

Keesokan harinya, Bara ditangkap berdasarkan bukti baru yang ditemukan di gudang sekolah---yang diklaim oleh Bu Rita 'tertarik' pada aura buku harian Lina. Misteri Lina terungkap setelah lima tahun.

Rian tidak tahu apakah Bu Rita itu guru BK atau arwah keadilan, tapi ia sudah tahu satu hal: Bu Rita adalah pemegang kunci kebenaran yang tak terucap, dan tak ada rahasia yang bisa lolos dari pantauan indra keenamnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun