Di sebuah desa kecil bernama Sukaporjo, hiduplah seorang gadis bernama Ais. Ia dikenal cerdas, pandai berbicara, dan cepat menanggapi setiap ucapan orang lain. Namun ada satu sifat buruk yang melekat padanya: lidahnya tajam. Ais sering berbicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain.
“Kenapa kamu bodoh sekali?” katanya pada temannya yang salah menghitung saat pelajaran matematika.
“Aturan ini konyol! Guru itu tidak tahu apa-apa!” ucapnya keras-keras di depan kelas.
Banyak orang diam saja karena tahu Ais pintar, tapi diam-diam banyak hati yang terluka oleh ucapannya. Bahkan ibunya sering menegur,
“is, kata-katamu bisa jadi doa. Jangan sembarangan. Ingat, lidahmu bisa menentukan masa depanmu.”
Ais hanya tertawa. Ia merasa kata-katanya tak mungkin berpengaruh besar.
Suatu malam, setelah bertengkar dengan ayahnya, Ais keluar rumah sambil menggerutu.
“Ah, andai saja aku bisa hidup tanpa harus mendengar ceramah orang tua setiap hari!” katanya ketus.
Saat itu, ia tiba-tiba mendengar suara lirih dari belakang pohon besar dekat rumahnya.
“Kamu yakin dengan ucapanmu?”
Ais terkejut. Dari balik pohon, muncul seorang kakek tua berwajah asing, membawa tongkat kayu. Matanya tajam, seakan bisa menembus hati siapa saja.
“Aku... siapa kakek?” tanya Ais gugup.
“Aku penjaga lidah manusia,” jawab kakek itu. “Setiap kata yang kau ucapkan akan membentuk jalan hidupmu. Kau sudah terlalu sering bermain-main dengan lidahmu. Mulai malam ini, apa pun yang kau ucapkan akan menjadi kenyataan.”
Seketika, tubuh Ais terasa dingin. Ia ingin tertawa, menganggap itu lelucon. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, kakek itu lenyap bagai asap.
Keesokan harinya, Ais berangkat ke sekolah. Di tengah jalan, ia melihat seekor anjing mengikutinya.
“Dasar anjing sialan! Semoga kau menghilang saja!” bentaknya.
Ajaib—anjing itu benar-benar lenyap di depan matanya. Ais terkejut, tubuhnya gemetar. Tapi ia juga penasaran.