Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Marga Perempuan Batak Tidak Hilang dan Makna Pesan bagi Dunia

1 Desember 2020   18:01 Diperbarui: 2 Desember 2020   10:09 2355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak di Desa Papande salah satu penghasil ulos terbaik di tanah Batak (Kompas.com / Gabriella Wijaya)

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar suka Batak hidupnya tidak sempurna jika tidak memiliki laki-laki. Alasan ketidaksempurnaan itu adalah garis keturunan akan hilang karena laki-laki pembawa marga.

Betul bahwa laki-laki yang meneruskan marga tetapi bagimana dengan garis keturunan perempuan? Apakah hilang begitu saja? Pertanyaan itu saya jawab dengan melakukan penelusuran. Bagaimana keturunan itu setelah ratusan tahun? Dalam tulisan ini akan saya berikan pemaparan tentang marga saya Manurung. Bagaimana cerita boru Manurung setelah ratusan tahun.

Apa makna hilang yang dimaksud dalam kebudayaan Batak?

Sebagai contoh semua marga Tambunan, Sianturi yang diperkirakan ratusan atau hampir ribaun tahun lalu bahwa nenek moyang mereka dilahirkan dari putri Manurung. Hubungan kekerabatan Manurung dengan Tambunan dan Sianturi sangat kuat. Bahkan Manurung ada kalanya lebih akrab dengan Tambunan dan Sianturi dibandingkan dengan sesama marga Manurung.

Dalam perjalanan saya ke sebuah daerah di Pangaribuan ternyata marga Pakpahan dibeberapa desa di Pangaribuan Tapanuli Utara nenek moyang mereka lahir dari Rahim perempuan marga Manurung. Di tugu mereka tertulis nenek moyang mereka boru (perempuan) Manurung. Mereka cerita bahwa mereka sangat hormat dengan Manurung karena ada kisah-kisah yang unik. Pesan-pesan dari nenek moyang mereka dengan lancar mereka ceritakan.

Setelah dari Pangaribuan ada lagi di Siborongborong yang ada beberapa desa yang marganya Lumbantoruan menceritakan bahwa nenek moyang mereka adalah boru Manurung. Marga Lumbantoruan itu cerita bahwa teman semarga mereka di Lintongnihuta juga Humbanghasundutan juga keturunan boru Manurung. Di Kabupaten Toba, tepatnya Laguboti ada marga Hutajulu yang juga keturunan boru Manurung. 

Jika kita ke Samosir tepatnya di Nainggolan kita akan jumpa marga Nainggolan Lumbanraja yang juga nenek moyang mereka boru Manurung. Marga Lumbanraja langsung memanggil Manurung dengan tulang. Di Samosir juga yang dihuni marga Nadeak yang menurut silsilahnya bahwa mereka Bersama Simataraja, Lango Raja dan Saing Raja dilahirkan boru Manurung.

Jika dihitung jumlah keturunan Manurung dengan boru Manurung maka jumlah keturunan boru Manurung jauh lebih banyak. Mungkin jangkauannya juga lebih luas ke seluruh dunia karena menikah mengikuti suaminya. Jangkauan perempuan Batak lebih jauh dan penyebarannya lebih cepat karena perempuan menikah meninggalkan kampung halamannya.

Jika marga Batak mengingat nenek moyang mereka dari perempuan dan nilai-nilai hidup dari nenek moyang mereka diingat dari marga perempuan apakah masih relevan atau menganggap tidak sempurna ketika keluarga Batak tidak memiliki anak laki-laki? Dalam praktik kehidupan seharihari hubungan erat sekali dengan satu marga dan keturunan perempuan. Hubungan emosional dengan keturunan marga dari perempuan lebih dekat.

Jika ditelusuri lebih dalam maka akan sangat banyak keturunan boru Manurung yang satu keturunan, dua keturunan, tiga keturunan, empat keturunan dan seterusnya.

Sumber : napznapzayee.blogspot.com
Sumber : napznapzayee.blogspot.com

Faktanya, makin jauh keturunan dari perempuan maka mereka makin diingat. Faktanya, Tambunan, Sianturi, Hutajulu dan banyak marga-marga yang keturunan boru Manurung tidak pernah lupa. Demikian juga dengan semua marga orang Batak, khusunya Batak Toba. 

Mengingat peran penting perempuan dalam menyampaikan pesan kepada keturunannya maka budaya perempuan Batak mamemehon poda (memberikan pesan) kepada keturunannya maka Sumber Daya Perempuan harus ditingkatkan. Pesan dari perempuan itu diingat sampai berabad-abad. Dan, konflik juga kemungkinan muncul karena kealpaan pesan perempuan dimasa lampau. 

Salah satu contoh konkret konflik atau persoalan yang tidak pernah tuntas di masa lampau yang berdampak hingga kini adalah ketika laki-laki Batak yang tidak sabar menunggu anak laki-laki menikah kemudian nikah lagi dan lahir anak laki-laki dari istri kedua.

Setelah lahir anak laki-laki dari istri kedua lahir pula anak laki-laki dari istri pertama. Laki-laki yang tidak sabaran karena perempuan lahir hingga empat atau lima kali dan menikah lagi akan menuai masalah karena siapakah yang dipanggil abang?. Masalah ketika anak laki-laki dari istri kedua lahir lebih dulu dari istri pertama. Sampai saat ini masih tafsir yang berbeda.

Lebih runyam lagi jika lahir lagi anak laki-laki berururutan dari istri pertama dan kemudian lahir lagi dari anak laki-laki dari istri kedua. Memiliki istri lebih dari satu memang ribet tetapi pertumbuhannya cepat.

Dalam konteks era modern hal yang ribet tidak perlu lagi. Kita sudah melihat sejarah bahwa tidak ada yang hilang ketika memiliki anak perempuan saja. Soal pembawa marga, bukankah nama perempuan juga ditulis di tugu orang Batak?

Di era zaman modern, kita tidak lagi persoalkan apakah kita memiliki anak laki-laki atau perempuan tetapi kita fokus kepada pesan yang akan dibawa anak-anak kita. Pesan apa yang mereka dapat dari kita untuk masa depan dunia ini.

Jikalaupun kita tidak memiliki anak laki-laki dan perempuan, kita bisa adopsi anak. Anak yang kita adopsi kita didik membawa pesan bagi masa depan dunia. Bahkan tidak menikahpun kita bisa mendidik banyak anak untuk sebuah pesan penting untuk masa depan dunia.

Hidup kita akan memiliki makna jika kita meninggalkan pesan bagi dunia di hari esok. Mengapa kita harus punya anak laki-laki? Mengapa kita harus punya anak perempuan? Mengapa kita harus punya anak? Mengapa kita harus menikah? Makna apa yang kit acari dari semua itu? Bukankah tugas kita untuk menitipkan pesan untuk masa depan dunia?

Memiliki anak dan keluarga itu Bahagia tetapi kebahagiaan kita tidak bisa hilang karena tidak memiliki anak laki-laki atau perempuan, atau tidak punya anak atau bahkan tidak menikah.

Pesan spiritualitas kita adalah Bahagia dan menitipkan pesan kepada generasi penerus dan tidak harus ke anak biologis kita.

Selamat menikmati hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun