Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hadiah Ulos Pinunsaan dan Dilema Hukum Positif dengan Hukum Adat

23 Oktober 2020   15:37 Diperbarui: 23 Oktober 2020   15:58 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersama Boy Raja Marpaung dan Ompung Saulina (dok pribadi)  
Bersama Boy Raja Marpaung dan Ompung Saulina (dok pribadi)  

Tanah wakaf itu  sudut kemiringannya sekitar 70 derajat.  Lahan penuh bebatuan yang  sulit ditanami pohon.   Dusun Panamean itu ada di lereng gunung yang amat terjal.  Lahan kuburan itupun sangat terjal. Jadi, sangat aneh jika hal semacam ini dibawa ke pengadilan dengan tudoingan pengrusakan.  Ditambah laki-namboru Saulina menceritakan dengan bisikan ke telingaku, "bolak bohikku mamereng  jolma  tiap laho ah utu pengadilan" ( hatiku miris dan sangat malu jika aku ke pengadilan dengan status hukum sebagai terdakwa).  Mendengar bisikan itulah aku  sangat marah terhadap aparat hukum dari polisi, jaksa dan hakim yang tidak bernurani.

Bisikan itu saya sampaikan kepada Forum Pemuda  Toba (FPT).  Boy Raja Silalahi, Alex Siagian, dokter Tota, Candrow Manurung dan beberapa pemuda lain mendampingi   Ompung Saulina. Kami meyakinkan, bahwa membangun kuburan leluhur adalah mulia. Orang mulia saja yang peduli leluhurnya. Ketika kami meyakinkan Ompung Saulina bahwa dia benar, maka muncul keberanian dan percaya diri bicara di televisi  dan beberapa media  yang menyorot kasus itu.

Keluarga Ompung Saulina (dok pribadi) 
Keluarga Ompung Saulina (dok pribadi) 

Persidangan terus berlanjut, Ompung Saulina selalu menyewa kapal  jika ke pengadilan. Kami selalu mendampinginya agar percaya diri dan tidak perlu malu.  Persidangannya disorot televisi nasional, lokal, media cetak nasional dan lokal.  Berita ketidakadilan itupun menjadi heboh.  Dengan sorotan publik, penegak hukumpun mulai berhitung.  Anaknya yang 6 orang dihukum 4 bulan penjara dan ompung Saulina dihukum 1 bulan. Kamipun  banding ke Pengadilan Tinggi (PT)  Sumatera Utara di Medan. Hasil keputusan berbunyi, "menguatkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Balige. Andaikan jaksa, hakmi melihat lokasi kejadian, maka hakul yakin mereka akan malu sendiri melihat fakta yang sebenarnya. Jaksa dan hakim hanya melihat fakta persidangan berdasarkan saksi yang dihadirkan.

Bersama Ompung Saulina Menjelang Sidang (dok pri) 
Bersama Ompung Saulina Menjelang Sidang (dok pri) 

Membaca atau menonton berita Ompung Saulina publik  banyak yang prihatin. Alexandra Guttardo dan suaminya datang dari Bali untuk melihatnya ke dusun terpencil Panamean.  Alexandra Guttardo dinobatkan marga Naiborhu. Naiborhu adalah marga suami ompung Saulina yang sudah 50 tahun meninggal.  Keenam anak Ompung Saulina marganya Naiborhu.  Alexandra amat bahagia diberikan marga ketika itu.   Ketika itu, Alexandra masih ingin datang lagi untuk melihat Ompung Saulina.

Kasus pendampingan ompung Saulina membuat saya sangat dekat dengan seluruh keluarganya.  Ketika saya pulang dari rantau, mereka mengantar ikan mujahir hasil tangkapannya ke rumah kami yang jaraknya cukup jauh. Kemudian saya pernah berkunjung kesana disuguhi makanan  ciri khas Batak  naniura (ikan diaksih asam dan bumbu Batak).  Mereka menyiapkan mangga untuk istri dan  anak-anak saya. Mereka cerita bahwa mereka menjaga pohon mangganya agar buahnya tidak dicuri monyet. Jika tak dijaga mangga bisa habis. Demi  keluarga tulang karena datang ke Panamean kami menjaga pohon mangga agar buah yang manis buat tulang, katanya. Saya terharu sekali.

Tepat di hari  Ulos  Nasional  17 Oktober saya dikirimkan hadiah Ulos Pussa untuk saya dan ulos bintang maratur buat istri saya.  Dalam pemahaman orang Batak Ulos Pussa bisa dipakai jika  orang itu sudah menikahkan anak atau putri.  Padahal, anak saya masih usia 13 tahun yang putra dan  11 tahun yang putri. Artinya, saya harus menunggu puluhan tahun lagi agar bisa memakai ulos yang mewah itu. Ulos Pussa dan Bintang Maratur itu ditenun langsung namboru Saulina Sitorus. Butuh waktu lama untuk menenunnya. Ketika saya Tanya, "mengapa ulos yang harus menunggu puliuhan tahun harus bisa saya pakai namboru?".  Jawabannya adalah ulos pussa adalah  ulos yang sangat penting bagi Orang Batak. Jika aku mati, tulang (panggilannya) mengingat aku.

Ulos Pussa membuatku bangga dan bahagia. Belum pernah saya mendapatkan hadiah sehebat itu.  Ketika pohon mangga saja dijaga agar istri dan anak-anakku menikmati mangga mereka, aku terharu.  Tidak menyangka, bahwa namboru yang sudah tua itu menenun ulos yang teramat mewah itu kepada saya dan istri saya. Hadiah yang walaupun menunggu puluhan tahun itu bisa kupakai,  membuatku bersyukur dan bahagia. Terima kasih namboru.  Kita melewati masa sulit dengan marah. Marahku, namboru obati dengan hadiah istimewa. Teramat istimewa, namboru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun