Mohon tunggu...
Gunawan
Gunawan Mohon Tunggu... Lahir di Jepara

Mahasiswa biasa pada bidang pendidikan geografi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelandangan di Persimpangan Jalan Idealisme

28 Agustus 2024   19:13 Diperbarui: 28 Agustus 2024   19:20 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tubuhnya kurus, perawakanya tinggi, dan rambutnya yang panjang dikucir dibelakang, tak tahu sudah berapa ratus kilometer jalan yang sudah dilaluinya. jalan-jalan penuh darah sering dilaluinya, hujan mata pisau seringkali lewat dalam perjalananya. kali ini pria kurus itu sedikit berhenti dipersimpangan jalan, dua persimpangan jalan yang harus dilaluinya esok pagi. Malamnya saat ia istirahat dan termenung diruko kosong otaknya tak berhenti berpikir dan tak istirahat sedetikpun, apalagi hatinya. banyak kejadian-kejadian yang rasanya seperti hujan mata pisau, dan pria itu  tak memakai payung baja untuk melindungin tubuhnya.

malam itu terasa panjang, sangat panjang, pria itu juga tak tahu sudah berapa hari ia termenung didepan ruko kosong itu karena kesadaran ruang dan waktunya sudah rusak dirusak oleh standar kegelapan yang ada dilingkunganya. kebahagiaan dan rasa baik-baik hanya bungkus kosmetik yang menyingkapi wajahnya. rasa-rasanya peperangan tak ada  yang dimenangnya dalam seperempat abad ini, kegagalan sudah menjadi makanan sehari-hari dari pria itu. dan kali ini juga tak tahu mau memilih jalan yang mana, sangat tepat berada dipersipangan jalan pria itu termenung yang entah sudah berapa hari disana.

kalimat-kalimat yang dirapalkan ketuhanya mungkin sudah meracau-racau dalam hati, tak tahu jalan mana lagi yang harus dipilih, tapi roda zaman terus berlintas dan bergerak cepat, mau tidak mau pria kurus itu harus memilih jalanya dengan bertarung lagi sekuat tenaga, saat jalan sudah dipilih hal yang harus dilakukan memang berperang dimedan pertempuran itu, banyak kondisi yang mencekik dan menekan dirinya untuk bilang menyerah, tapi menyerah dalam pikiranya tak sesederhana itu, tak sehitam-putih itu, tak sebenar-salah itu.  dikotomi kalah-menang, sedih-bahagia juga berbeda aksiomanya. mungkin pria itu salah mungkin juga benar, tapi dibalik derita kelam dan hitam atas dirinya diujung persimpangan ini sudah tak seperti lima tahun kebelakang dulu, kalahnya selalu telak dan tak bisa menikmatinya seperti lima tahun yang lalu, rapalan kekalahan yang seharusnya dituliskanya sekarang jarang sekali dituliskanya, hanya meracau dipikiran dan hatinya saja, dan pada akhirnya pria itu hanya hidup didalam pikiranya saja, tak berkontemplasi dengan kehidupan dan tulisanya lagi.

memang pria itu tak sesastra majnun yang punya sejuta rapalan kalimat spiritual kepada layla, juga tak seperti mbah umbu yang magis dan wangi di malioboro joga ditahun tujuh puluhan, tapi baginya peperangan yang dilalui sungguh berarti baginya. kini kembali lagi berpikir berat untuk melangkahkan kaki dijalan yang mana, kedua jalan mempunyai medan perang yang sama berdarahnya, dan hal besar lagi yang menjadi masalah adalah ketakutan, ketakutan sudah menenggelamkan ambisinya kedasar samudera yang paling dalam, paling dasar, paling bawah sampai cahayanya pun tak tembus sampai sana.

hal yang menyelamatkan kali ini hanya satu kata, yaitu keberanian. keberanianlah yang menyelamatkan kali ini, sudah sejak lama tenggelam didasar lautan ini yang tak ada cahaya, tekanan didasar lautan yang terbawah dari bumi ini sangat menghancurkan nurani dan akal sehat, suhu didasar laut juga sangat dingin, sangat dinginya sampai mematikan rasa idealisme yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun. jalanya selalu bertemankan sendiri, begitupun peperangan yang sudah dilaluinya, lebih sering kalahnya, lebih kerap jatuhnya, tapi tetap bangun  dan berjalaln dengan penuh darah dipunggungnya.

Surakarta, 28 Agustus 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun