Mohon tunggu...
G Tersiandini
G Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan guru di sekolah internasional

Mantan guru, penikmat kuliner dan senang bepergian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyaksikan 'Alms Giving Ceremony' & Berkunjung ke Air Terjun Kuang Si di Laos

26 Juli 2016   12:12 Diperbarui: 27 Juli 2016   00:10 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap pagi pada jam 5:30 sampai jam 6:30 di sepanjang jalan utama di pusat kota Luang Prabang selalu dilakukan upacara yang disebut 'Alms Giving Ceremony'. Dalam upacara ini para biksu dari berbagai 'vat' berjalan berbaris dan masing-masing mengenakan baju biksu berwarna jingga, serta membawa sebuah tempat untuk menampung pemberian dari penduduk yang sangat taat pada agama Buddha. 

Para biksu ini akan mendapatkan sekepal nasi ketan dari para penderma yang duduk bersimpuh di tepi jalan saat memberikan sedekah tersebut. Sedekah ini nantinya akan mereka makan dan sebagian akan mereka berikan kepada orang-orang miskin. Oleh karena itu tidak heran jika tidak ada peminta-minta yang berkeliaran di jalanan di kota ini. Walaupun mereka miskin, makanan mereka sudah tercukupi. Andai saja di Indonesia bisa seperti itu.

Pagi itu jam 5:30 saya pergi dari hotel menuju jalan besar tempat upacara 'Alms giving' tersebut berjalan. Di tepi jalan saya melihat beberapa penduduk lokal sudah duduk bersimpuh dengan makanan yang akan diberikan kepada para biksu. Mereka menggunakan pakaian sopan.

Para lelaki mengenakan celana panjang dan selendang yang diselempangkan di bahunya, sementara yang perempuan mengenakan kain tradisional Lao dan umumnya atasan putih, juga mengenakan selendang yang diselempangkan di bahunya. Mereka duduk bersimpuh menantikan para biksu berjalan melewati mereka. Di sepanjang jalan itu juga disediakan bangku-bangku kecil untuk para wisatawan yang ingin ikut serta dalam upacara tersebut.

Di jalan, saya juga melihat para wisatawan sudah menunggu upacara tersebut. Beberapa wisatawan 'bule' yang mengenakan celana pendek berdiri di kejauhan sambil menenteng kamera. Di bagian lain saya juga melihat beberapa penjual makanan menawarkan makanan kepada para wisatawan agar mereka mau ikut serta dalam upacara tersebut.

nasi ketan yang akan didermakan kepada para biksu | Foto-foto: koleksi pribadi
nasi ketan yang akan didermakan kepada para biksu | Foto-foto: koleksi pribadi
Sebelum kami pergi melihat upacara itu, kami sudah bertanya-tanya dulu kepada staf di hotel apakah pakaian yang kami pakai sudah cukup sopan. Tentu saja kami harus menghormati adat istiadat yang mereka anut. Juga di beberapa situs internet yang saya baca disebutkan bahwa kita harus mengambil foto dari kejauhan dan tidak menggunakan 'flash'.

Namun yang terjadi di lokasi, banyak wisatawan dari Korea dan China yang memotret mereka dari dekat dan tidak sedikit perempuan yang mengenakan celana pendek. Saya hanya bisa bertanya-tanya, apakah mereka tidak bertanya kepada pemandu atau staf hotel atau membaca di situs internet tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada saat melihat upacara ini?

Dari kejauhan saya lihat para biksu ini keluar dari 'vat' masing-masing dan berjalan berbaris di 'trotoir'. Mereka akan membuka tempat yang mereka bawa saat penduduk memberikan nasi ketan kepada mereka.

Barisan biksu ini telihat indah dan unik. Namun, kesakralan upacara ini seakan terasa berkurang dengan banyaknya wisatawan yang memotret mereka dari dekat. Padahal mereka bisa menggunakan 'zoom' untuk mengabadikan upacara ini agar kesakralannya tetap terjaga. Sekarang sepertinya upacara ini sudah menjadi sebuah komoditi wisata.

Barisan Biksu yang baru keluar dari 'vat' mereka | Foto-foto: koleksi pribadi
Barisan Biksu yang baru keluar dari 'vat' mereka | Foto-foto: koleksi pribadi
Barisan biksu | Foto-foto: koleksi pribadi
Barisan biksu | Foto-foto: koleksi pribadi
Menerima pemberian nasi ketan dari penduduk | Foto-foto: koleksi pribadi
Menerima pemberian nasi ketan dari penduduk | Foto-foto: koleksi pribadi
Foto-foto: koleksi pribadi
Foto-foto: koleksi pribadi
Foto-foto: koleksi pribadi
Foto-foto: koleksi pribadi
Menurut saya upacara ini unik dan saya beruntung karena mendapat kesempatan untuk melihat tradisi harian mereka. Namun sebaiknya para wisatawan juga tetap menghormati tata aturan yang berlaku di negara tersebut. Bertanyalah atau bacalah dahulu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Sama halnya jika ada wisatawan yang berkunjung ke Indonesia dan tidak menghormati budaya kita, tentu kita akan merasa tidak senang. Saya rasa para biksu itu juga akan merasa tidak senang jika kita mengusik kesakralan tradisi mereka.

Setelah melihat upacara tersebut, kami kembali ke hotel untuk mandi lalu kemudian sarapan. Sarapan yang disediakan cukup enak dan sangat mengenyangkan.

Setelah bertanya kepada staf hotel tentang air terjun Kuang Si yang jaraknya 26 km dari kota Luang Prabang, kami lalu menyewa taksi untuk ke sana. Kami membayar 200.000 kip. Sebenarnya dengan tarif itu kami bisa mampir di 'elephant camp' dan juga 'butterly park' , tetapi kami hanya ingin ke air terjun Kuang Si dan mampir di perkampungan Hmong.

Kami bertiga pun berangkat naik tuk-tuk. Karena tuk-tuk itu di kiri dan kanannya terbuka, maka saat masih di kota, kami harus terpapar debu yang cukup tebal karena di sana sedang banyak pembangunan. Namun, setelah di luar kota, udaranya pun menjadi semakin bersih. Di kiri kanan kami terdapat hutan jati.

Jalanan menuju tempat itu pun bagus dan sangat sepi, seolah-olah jalan itu milik kami sendiri. Setelah hampir sekitar satu jam, kami tiba di pintu masuk menuju 'Butterfly Park' dan 'Kuang Si Waterfall'. Setelah membayar 20000 kip per orang, kami pun masuk ke Taman Nasional itu. Tempatnya teduh dan bersih.

Ada dua jalur menuju air terjun itu. Satu melalui jalan tanah, dan yang satu lagi lewat jalan yang sudah beraspal. Kami memilih jalan tanah. Tidak jauh dari situ terdapat 'bear sanctuary'. Kami berhenti dulu untuk melihat beberapa beruang. Alamak, beruang di sana gemuk-gemuk. Lucu sekali. Ada yang tiduran, ada yang mandi di kubangan, ada juga yang sekedar berjalan-jalan.

Beruang gemuk | Foto-foto: koleksi pribadi
Beruang gemuk | Foto-foto: koleksi pribadi
Dari tempat penangkaran beruang, kami berjalan lagi naik. Suara deburan air semakin terdengar jelas. Di hadapan kami membentang kolam berwarna hijau tosca dengan air terjun yang pendek.

Cantik sekali. Saya pikir ini air terjunnya. Walaupun cantik agak kecewa juga rasanya saat itu karena air terjun di negara kita jauh lebih bagus dan tinggi. Beberapa wisatawan Korea mulai berfoto-foto. Ada yang masuk ke dalam air, ada yang hanya di tepi saja.

warna air hijau tosca yang menawan | Foto-foto: koleksi pribadi
warna air hijau tosca yang menawan | Foto-foto: koleksi pribadi
Kakak dan keponakan saya langsung duduk di bangku yang tersedia di situ sambil menikmati keindahan alam yang ada di hadapan mereka, sementara saya mengikuti orang-orang yang berjalan lebih ke atas.

Rupanya semakin ke atas, semakin indah pemandangannya. Air terjun ini bertingkat-tingkat dan tidak dalam. Ada beberapa wisatawan yang duduk di beberapa bangku yang disediakan di dalam kolam.

Airnya cukup deras | Foto-foto: koleksi pribadi
Airnya cukup deras | Foto-foto: koleksi pribadi
Foto-foto: koleksi pribadi
Foto-foto: koleksi pribadi
Saya sibuk mengambil foto-foto air terjun tersebut. Ketika saya sadar, rupanya saya hanya sendirian. Namun saya terus melanjutkan perjalanan. Semakin ke atas, pemandangan yang ada di hadapan saya semakin menawan. 

Akhirnya saya sampai di air terjun utama. Wah airnya deras dan indah sekali. Beruntung saya mendapat pemandangan yang indah, karena saat sebelum berangkat saya sempat melihat foto-foto air terjun ini yang diunggah di internet dan airnya tidak sederas yang saya lihat saat itu. Tentu saja saya langsung mengambil foto sebanyak-banyaknya.

Kuang Si dari samping | foto-foto: koleksi pribadi
Kuang Si dari samping | foto-foto: koleksi pribadi
Seluruh Kuang Si (tampak depan) | foto-foto: koleksi pribadi
Seluruh Kuang Si (tampak depan) | foto-foto: koleksi pribadi
Kuang Si dan kolam hijau tosca | foto-foto: koleksi pribadi
Kuang Si dan kolam hijau tosca | foto-foto: koleksi pribadi
Hari itu pengunjung cukup banyak dan mereka tentu saja berpose dengan latar belakang air terjun. Angin cukup besar sehingga saat berdiri di jembatan untuk melihat air terjun dengan jelas, kamera dan badan kami menjadi basah. Di situ juga ada beberapa biksu yang bermain-main di kolam yang ada di dekat jembatan.
Para biksu bermain-main di kolam air terjun | foto-foto: koleksi pribadi
Para biksu bermain-main di kolam air terjun | foto-foto: koleksi pribadi
Para biksu itu kemudian pergi lagi menapaki jalan setapak. Awalnya saya sempat mengikuti, tapi melihat jalanannya cukup terjal, saya urungkan niat saya, karena kakak dan keponakan saya masih di bawah dan saya berjanji akan kembali ke bawah kepada pengemudi tuk-tuk pada jam 1 siang.

Jadi saya takut terlambat. Saya kemudian memutuskan untuk turun dan mencoba mengajak kakak dan keponakan saya untuk naik melihat air terjun utama. Sayang kalau tidak melihatnya. Akhirnya mereka pun naik dan yang pasti sangat menyukai pemandangan yang mereka lihat.

Setelah puas menikmati air terjun Kuang Si, kami memutuskan untuk kembali ke tuk-tuk. Kami mengambil rute jalan aspal. Wah beruntung ketika berangkat kami memilih jalan tanah. Jika kami mengambil rute jalan aspal, kami tidak akan melihat kolam-kolam berwarna hijau tosca yang indah.

Kami kemudian kembali menuju Luang Prabang. Di perjalanan kami berhenti sejenak di perkampungan suku Hmong untuk melihat desa mereka dan mungkin membeli hasil kerajinan mereka. Saat tiba di perkampungan Hmong, suasananya sepi sekali. Banyak yang sedang rebahan di lapak mereka. Saat melihat kami datang, mereka langsung bangun dan mulai menawarkan dagangan mereka. 

Rupanya suku Hmong yang ada di Laos berbeda dengan orang-orang Hmong yang ada di Sapa. Di Sapa , Vietnam Utara, mereka terlihat unik dengan pakaian sehari-hari mereka yang masih tradisional, sementara di Laos mereka sudah berpakaian seperli layaknya orang-orang Laos. Tidak ada gelang kaki, gelang tangan, penutup kepala yang indah, baju hitam dll. Namun, kain yang mereka pakai adalah hasil tenunan mereka sendiri.

Perkampungan Hmong di Laos | foto-foto: koleksi pribadi
Perkampungan Hmong di Laos | foto-foto: koleksi pribadi
Rumah suku Hmong di Laos | foto-foto: koleksi pribadi
Rumah suku Hmong di Laos | foto-foto: koleksi pribadi
Anak Hmong dengan pakaian ala Laos, namun kainnya tenunan Hmong | foto-foto: koleksi pribadi
Anak Hmong dengan pakaian ala Laos, namun kainnya tenunan Hmong | foto-foto: koleksi pribadi
Kami juga dapat melihat anak-anak perempuan dan perempuan dewasa yang menunggui lapak mereka, sementara yang laki-laki dengan santainya tidur di 'hammock' atau di depan rumah. Bagi saya,  desa ini tidak impresif seperti di Sapa, Vietnam. Hasil tenunannya juga berbeda dan tidak sebagus yang di Sapa. Jadi setiap orang normal pasti akan beradaptasi dengan negara tempat mereka tinggal.

Tidak lama kami di kampung Hmong, kami lalu kembali ke Luang Prabang untuk beristirahat karena sore harinya kami ingin mendatangi 'night market' yang belum kami kunjungi.

Gmt26072016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun