Sejak mengidap kanker, makanan menjadi faktor penting yang harus kuperhatikan. Bukan hanya sekedar mengenyangkan perut tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor lain seperti kandungan gizi di dalam makanan tersebut, bagaimana cara pengolahannya, kebersihannya, dan sebagainya. Cukup memusingkan kepala kan? Namun, harus tetap kujalani jika ingin bertahan hidup.Â
Sarapan pagi berupa semangkok gandum, dua butir telur rebus, dan segelas susu yang khusus direkomendasikan oleh dokter. Bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya? Agak hambar dan tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan sarapan yang biasa kunikmati setiap pagi sebelum penyakit ini datang menghampiri.
Namun, aku terus berusaha semampuku untuk tetap bertahan dan aku bersyukur karenanya.
Anda tahu mengapa?
Karena akhirnya aku menyadari bahwa aku bisa mempraktikkan ajaran Sang Buddha tentang kesadaran (mindful) dalam kegiatan sarapan tersebut.
Ingin tahu bagaimana caranya? Ayo teruskan membacanya ya.
Nikmatilah setiap suapan yang masuk ke dalam mulut kita dengan penuh kesadaran dan rasakan sensasi dari rasa setiap bahan yang berbeda yang ada di dalam sajian tersebut.
Karena bentuk bibirku yang sudah mengalami perubahan bentuk yang signifikan setelah menjalani operasi plastik dikarenakan sel kankernya sudah bermetastasis ke bibir kanan bagian dalam maka makanan sering lolos dari cengkeraman bibir bawah tanpa kusadari. Selain itu gigiku sudah banyak yang hilang dari peredaran. Hal ini membuatku agak berhati-hati dalam mengunyah makanan dan menelannya. Memang agak menyita waktuku, namun memberikan kesempatan kepadaku untuk berlatih kesadaran. Asyik kan?
Rasa bosan mulai menyergap setelah beberapa minggu hal ini kulakukan. Kurenungkan kehidupan yang kujalani sejak menderita penyakit kanker ini dan bagaimana aku bisa bertahan dengan cara berbuat kebaikan sebanyak mungkin kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Tiba-tiba aku mendapatkan pencerahan melalui kesadaran.
Segera kuambil sebiji pisang kapok, eh, sori, maksudku pisang kepok yang kubeli tadi pagi di pasar dekat rumahku, kubuka kulitnya dan kupotong-potong dengan sendok, lalu kutaruh ke dalam gandum sarapanku. Dengan antusias kucicipi sarapan edisi terbaruku.
Wah! Rasanya enak karena pisang kepok tidak terlalu manis dan ada sedikit rasa masamnya.
Semangkok gandum yang hambar diibaratkan sebagai kehidupanku yang terasa berat jika aku tidak berusaha membuatnya jadi berarti, sedangkan pisang kepok diibaratkan sebagai kebajikan yang membuat semangkok gandum tersebut menjadi enak, yang kemudian kuhabisi dalam sekejap tanpa memedulikan gandum yang menetes ke bajuku, hahaha.
Menikmati sarapan pagi seperti menikmati segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini dengan bersyukur atas segala sesuatu yang kuterima, baik suka maupun duka sesuai dengan karma yang telah kuperbuat sebelumnya, dan berusaha mengisi kehidupanku dengan melakukan kebajikan yang akan mendatangkan kebahagiaan.
Selamat mencoba mindful eating menurut versiku ya!
**
Medan, 16 Maret 2024
Penulis: Tania Salim, Kompasianer Mettasik
Be Grateful! Be Happy! Be Strong!