Steve adalah representasi universal dari kebanyakan kita. Dalam himpitan dunia profesionalitas yang menuntut ketahanan baja dan kehidupan pribadi yang tak pernah sepi drama, kita sebenarnya bisa tahu bahwa ada hal yang salah yang sedang kita lakukan.Â
Kita tahu kita harus keluar atau berhenti. Tetapi, ada sebuah tarikan kuat yang membuat kita tidak bisa keluar dari sana, yang sering kali berakar dari hubungan sosial antar manusia dan rasa tanggung jawab moral.
Kita bisa merasa kasihan dengan orang tertentu---murid, rekan kerja, anggota keluarga---dan otomatis menjadi punya tanggung jawab terhadapnya. Kondisi psikologis inilah yang memiliki istilah disonansi kognitif, di mana seseorang memegang dua atau lebih keyakinan yang saling bertentangan secara internal.
Steve, dengan peran mulianya sebagai pengayom bagi anak-anak muda yang membutuhkan bantuan, ternyata tidak bisa lari dari satu keyakinan yang bertolak belakang: menyelesaikan masalahnya dengan minum obat penenang.Â
Ia tahu ia adalah mercusuar, tetapi ia tenggelam di tengah badai. Dengan tertimbunnya segala hal-hal yang ia rasa wajib diembannya itu, tanpa service yang memadai untuk dirinya sendiri, Steve menjadi sangat, sangat lelah. Kelelahan itu bukan hanya fisik, melainkan kelelahan jiwa yang mengikis habis kesabarannya.
Ledakan Shy, Bukan Diciptakan Tetapi Dipahat
Di film ini, ada tokoh kuat yang melatarbelakangi ledakan besar yang menjadi puncak ketegangan bagi hari Steve, namanya Shy. Diperankan dengan memukau oleh Jay Lycurgo, Shy digambarkan sebagai salah satu siswa yang di satu waktu terlihat paling normal, penuh kecerdasan dan potensi, namun di lain waktu ia bak bom nuklir yang siap meledak kapan saja.
Pemuda pintar ini berasal dari keluarga broken home yang parah. Karena tekanan mental yang ia dapatkan dari lingkungan keluarganya, ia sempat melakukan penusukan kepada suami baru ibunya.Â
Ibunya, alih-alih merangkul, lalu tidak mau menerimanya lagi dalam hidup dan berbulat hati membuangnya di Stanton Wood---sebuah cara "mengamankan" diri sendiri dengan mengorbankan mental anaknya.
Shy, yang sangat menggemari musik, mencoba kabur dari ketidakterimaannya dengan mendengarkan musik di walkman-nya keras-keras. Volume maksimal menjadi satu-satunya pelindung antara dirinya dan dunia yang menolaknya.Â
Di hari yang intens itu, amarahnya meledak. Ia mengambil sebuah keputusan radikal yang menjadi puncak dari hari memusingkan bagi Steve.
Apa yang dilakukan Shy bukanlah suatu tindakan yang serta merta lahir dari pikirannya. Ledakan itu bukanlah ciptaan mendadak, melainkan hasil pahatan yang perlahan dan menyakitkan. Timbunan masalah keluarga, penolakan sosial, dan label stigmatisasi menyerang mentalnya, membentuknya secara simultan. Shy adalah mahakarya dari buruknya lingkungan memperlakukan seorang manusia.Â