Beberapa hari lalu, di dalam lab komputer sudah saya siapkan untuk 19 siswa-siswi kelas VI SD menjalani try out Test Kemampuan Akademik (TKA) mapel Matematika. Baru saja serempak mereka duduk di depan PC masing-masing, dua anak mengangkat tangan. Mereka serempak bertanya "TKA itu buat apa, Pak?"
Tentu saya kembalikan lagi pertanyaan itu, dengan menanyakan penjelasan apa yang didapat dari wali kelas mereka. Gambaran besarnya, menurut mereka, nilai TKA akan mempengaruhi peluang untuk masuk ke SMP Negeri favorit.
"Tapi saya kan tidak masuk SMP Negeri, Pak. Jadi ga penting, dong?", seloroh seorang murid lainnya.
Saya jadi terdiam sejenak. Di otak saya, ingin rasanya menjelaskan apa yang saya dapat dari event kolaborasi Kemendikdasmen dan Kompasiana pekan lalu, yang membahas spesifik tentang TKA. (Laporan selengkapnya bisa dibaca di sini)
Tetapi saya mengurungkan niat, sebab dalam informasi yang diterima para guru dari Dinas Pendidikan, ada statement yang berbunyi Murid Tidak Boleh Dipaksa Ikut TKA, alias opsional.
Lalu saya pun menjawab diplomatis, "TKA ini tolok ukur kemampuan belajar kalian. Ada kesempatan try out berkali-kali, kan? Jadi manfaatkan untuk berlatih supaya dapat nilai yang baik di ujian TKA tahun depan."
Bagi saya pribadi, memang ada kesan ambiguitas tentang perlu atau tidaknya TKA ini. Kalau tidak penting, buat apa diadakan. Kalau penting, kenapa sifatnya opsional? Sekalian saja dijadikan seperti Ujian Nasional seperti zaman saya dahulu.
Tentu ini sudah formula yang ditetapkan Kemendikdasmen dalam menyusun kurikulum yang baru. Dari penjelasan Ibu Rahmawati selaku Kepala Pusat Asesmen Pendidikan Kemendikdasmen di event Gelar Wicara Kemendikdasmen dan Kompasiana, dijelaskan bahwa TKA merupakan tahapan yang digunakan untuk mengevaluasi kurikulum.Â
TKA yang digunakan untuk menilai jalannya kurikulum belajar, bisa menunjukkan banyak hal. Kemampuan siswa, daya ajar guru, kesiapan sarana dan prasarana sekolah, maupun peran pemerintah dalam menyusun kurikulum yang merata di seluruh Indonesia akan terlihat.
Nilai yang dihasilkan, bisa menjadi indikator apa yang harus dilakukan selanjutnya kepada pihak-pihak terkait di atas. Guru dan sekolah bisa meningkatkan kualitas Kegiatan Belajar Mengajar-nya. Pemerintah bisa memberikan suntikan materiil atau imateriil kepada tenaga pengajar agar bisa menaikkan standar pendidikan.
Eits, tapi murid-muridnya kan keburu naik kelas ke jenjang berikutnya? Lalu apa manfaat evaluasi bagi mereka? Nilai tersebut keburu menempel sebagi "nomor punggung"nya, bukan?
Secara formalitas kita bisa saja menjawab bahwa dari nilai tersebut, akan ada panduan bagi sekolah jenjang berikutnya, tentang bagaimana kemampuan akademik murid tersebut. Melalui nilai tersebut, ada indikator apakah ia seorang murid SD dengan kemampuan literasi yang baik, numerasi yang baik, baik keduanya, atau malah buruk keduanya.
Tetapi apa itu yang menjadi kemauan Kemendikdasmen? Saya sendiri juga menantikan kepastiannya. Toh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum genap satu tahun, dan belum bisa ditagih juga perihal evaluasi jalannya kurikulum.
Namun satu yang bisa saya pesankan melalui artikel ini, mengingat guru dan tenaga pendidik adalah ujung tombak komunikasi dengan siswa dan orang tua siswa, hendaknya pemerintah tidak membangun ambiguitas tentang penting atau tidaknya Test Kemampuan Akademik.
Mengapa? Supaya ada kejelasan bagi setiap siswa dalam mempersiapkan proses belajar menjelang asesmen tersebut. Bisa dengan menambah jam belajar melalui bimbel, les di LBB, maupun les privat.Â
Sehingga di kemudian hari ketika saya ditanya "TKA itu buat apa, Pak?", saya tidak perlu berpikir berulang karena faktor opsionalnya tersebut.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI