Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Brand Agency Owner

Pengamat Industri Kreatif. Pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Inefektivitas Alat Peraga Kampanye dari Kacamata Desainer

22 Januari 2024   06:30 Diperbarui: 30 Januari 2024   08:56 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat Peraga Kampanye di Satu Sudut Pertigaan Jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Di dalam tahun politik ini, salah satu hal ikonik yang sudah mulai banyak muncul adalah adanya Alat Peraga Kampanye (APK) baik berupa baliho, poster, atau spanduk yang menggambarkan foto calon legislatif beserta ajakan untuk memilihnya. 

Adanya banyak sekali APK ini diketahui mengganggu masyarakat dan bahkan menimbulkan kecelakaan. Meski telah ada rambu-rambu pemasangan sesuai yang diatur dari Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023, namun ternyata dalam prakteknya hal ini berbanding terbalik. 

Saat ini tengah dilakukan berbagai upaya penertiban baik oleh Bawaslu maupun Satpol PP setempat sebagai representasi pemerintah daerah agar bentuk-bentuk pelanggaran tersebut dapat diatasi.

Alat Peraga Kampanye di Satu Sudut Pertigaan Jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Alat Peraga Kampanye di Satu Sudut Pertigaan Jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Dengan berkaca dari banyaknya efek pelanggaran yang terjadi, sebenarnya patut direnungkan kembali efektivitas dari penggunaan APK tersebut. Terdapat jurnal-jurnal penelitian (Bawelle et al, 2022; Perdana, 2019; Yuliyanto, 2014) yang menyatakan inefektivitas APK dan juga meminta adanya evaluasi kembali mengenai pelaksanaannya. 

Meski terdapat beberapa penelitian lain yang sebaliknya juga menyatakan efektivitas positif dari APK ini (Swasono, 2017; Falimu, 2018; Sanjaya, 2020), namun secara kontekstual, seluruh penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan dalam benang merah bahwa terdapat situasi serta kondisi yang harus dicermati bagaimana alat peraga itu sendiri dapat berjalan efektif maupun tidak.

Melihat dari bagaimana peraturan KPU dan pelanggaran yang terjadi di lapangan, saya kira perlu ada tinjauan kembali baik dari segi peraturan, simulasi bagaimana alat peraga kampanye itu dipasang, hingga kepada tinjauan media yang efektif dari sebuah kampanye. 

Dari "sampah visual" yang ditimbulkan dan bahkan dikatakan mencemari lingkungan, masihkah kita belum belajar berkampanye dan berpromosi dengan baik? 

Sebagai seorang Desainer Komunikasi Visual, saya mencoba membedah berdasarkan disiplin keilmuan saya detail permasalahan atas penggunaan APK untuk mengarahkan apa yang mesti dilakukan.

Alat Peraga Kampanye di dekat Trotoar Jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Alat Peraga Kampanye di dekat Trotoar Jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pertama, mengenai lingkup penggunaan. Secara mendasar beberapa pasal yang tercantum dalam Peraturan KPU nomor 15 tahun 2023 tersebut menyatakan adanya tempat-tempat yang terlarang (Pasal 69-72), namun dari sisi lain tidak menyebutkan secara spesifik contoh tempat-tempat umum yang diperbolehkan (Pasal 26 ayat 1 huruf d, di-mention kembali pada Pasal 34 ayat 1). 

Kerancuan semacam ini tentunya akan sangat membingungkan caleg (calon legislatif) yang bersangkutan. Hal ini sebenarnya dapat teratasi jika memang ada simulasi pada sebelum era kampanye sehingga memudahkan caleg menempatkan APK. Tanpa ada landasan semacam ini, dapat terjadi kasus "kenakalan beruntun" dari masing-masing caleg seperti yang terjadi sekarang. 

Dalam mengkonsep sebuah kampanye, salah satu hal mendasar yang selalu diajarkan dalam dunia desain adalah berempati terhadap keadaan sekitar dan juga target audiens sebelum membuat sebuah desain. 

Jika sebuah brief desain (atau dalam hal ini aturan pemasangan APK) tidak memiliki sebuah bayangan gambaran dalam bentuk prototype atau simulasi, akan banyak sekali missing dalam pelaksanaan.

Kedua, mengenai efektivitas media kampanye APK itu sendiri. Melanjutkan dari poin pertama, sebenarnya dengan adanya poin tersebut, dari kacamata desain sendiri, bagaimana pemasangan APK berikut dengan atribut desain yang sesuai peraturan belumlah memadai (feasible). 

Selain dari fit and proper test-nya dari aspek produk desainnya sendiri tidak ada, pemilihan target audiens juga seakan random sekali dari pemasangan sebuah APK. 

Dari banyaknya penempatan APK yang ada di jalan-jalan (anggaplah sebagai pertimbangan untuk meraup estimasi audiens yang besar), dapat kita beda sebuah pertanyaan, "Sungguhkah pesan komunikasi visual dapat ditangkap oleh pengguna jalan dan mampu membekas di hati masyarakat?"

Berkaca dari ketentuan mengenai isi konten alat peraga kampanye (Pasal 34 ayat 3) dan juga durasi ketentuan kampanye (28 November 2023 - 10 Februari 2024), dengan mempertimbangkan banyaknya caleg yang bahkan siapa tokohnya saja masih harus dikenali masyarakat sekaligus harus bisa stand-out diantara pesaing lainnya, tentunya sangat tidak masuk akal penggunaan media-media APK tersebut dapat efektif mengenai sasaran masyarakat yang dituju. 

Dalam hal ini, apa yang semestinya seorang caleg lakukan seharusnya berdasarkan prinsip self-branding dimana bahkan jauh sebelum adanya pemilu legislatif, ia seharusnya sudah mempunyai aksi nyata dan brand tersendiri yang terlibat penuh dalam masyarakat tanpa harus susah payah mengarahkan orang pada politik  ketika pada waktunya pemilu tiba.

Alat Peraga Kampanye di Sebuah Jembatan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Alat Peraga Kampanye di Sebuah Jembatan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ketiga, mengenai dampak eksternal. Sudah banyak keluhan mengenai sampah visual yang ditimbulkan dari adanya APK yang bertebaran di jalan. Implikasi dari hal itu adanya kebutuhan akan analisis dampak lingkungan yang mendalam baik pada saat sebelum maupun sesudah pemasangan. 

Dalam hal ini, peran pengawasan diperlukan agar pesta politik yang berlangsung tidak hanya menjadi sebuah pesta sampah visual yang merugikan lingkungan. Terlebih di era tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) dan juga menyambut adanya surplus generasi muda ini, hal semacam ini tidak semestinya terjadi dan sudah semestinya ada perombakan sistem kampanye. 

Seorang caleg atau bahkan partai perlu mengalokasikan konsultan maupun agensi desain yang dapat memaksimalkan kampanyenya sehingga budget yang dikeluarkan dapat optimal sambil tetap memikirkan dampak lingkungan.

Pada akhirnya, pesta politik yang berlangsung tidak dapat lepas dari sebuah iklim yang saling menguntungkan baik dari sisi masyarakat, bakal calon legislatif, maupun pemerintah. 

Satu kata di atas yang menjadi benang merah untuk selalu ditekankan adalah satu: empati. Tanpa adanya empati, branding diri maupun kampanye  seorang caleg akan selalu tidak menimbulkan gairah di mata masyarakat dan hanya mengandalkan keberuntungan untuk dipilih.

Alat Peraga Kampanye di Satu Sudut Perempatan Jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Alat Peraga Kampanye di Satu Sudut Perempatan Jalan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun