Mata kita mendelik, mata yang hitam dan merah
Mata anak anak kita menatap masa kini menjadi hari esok,
Itulah igauan tidurku,
Kita melihat tanah merah dan sekendi kembang setaman
Tanah merah tempat kita kaku dalam rindu
Digali tangan tangan kekar berjiwa kesatria yang kehilangan jiwa
Digali buldozer yang tanpa ampun,
Kita menjadi manusia peminum bau keringat saudara kita
Kita menjadi tawon tawon tanpa tanding
Berkelompok di pojok-pojok kembang dan saling mencium tar yang sedap
Apakah kita tahu tar itu ?
Bersekutu dengan dendam pergaulan,
Apakah kita tahu tar itu ?
Mucikari yang kehilangan pelacurnya,
Apakah ku tahu tar itu ?
Kebisuanku,
Dimalam purnama yang telah berakhir,
Kita telah memicingkan dua mata yang biru,
Dua mata bayi bayi yang melek di tengah malam
Mata kita tetap mendelik, mata yang hitam dan menyala
Dalam igauan mimpi ibu pertiwi,
Ia menoleh lautan yang di cemar,
Ia menatap julang batu gunung yang di hampar
Lalu tanah merah kita,
Apakah harus di permak jadi gedung gedung asing,
Apa karna tukar guling ?
Mata kita, adalah airmata bapak bapak kita yang congkak
Mata anak anak kita, adalah mata kita yang sia sia,
Lalu kita yang mencium tar...
Sekelompok kelelawar yang mencicit dalam kegelapan
Atau jaring laba laba
Di gedung gedung darurat,
Di proyek proyek tiang pancang
Dan dalam sebuah saku baju kita sendiri
Surabaya, 24 Apr 2018
Rasull abidin