Setelah lebih dari dua tahun tidak melakukan perjalanan karena pandemi, tahun ini akhirnya bisa kembali menjelajah. Kali ini pilihannya adalah Sumba.
Awalnya pulau ini tidak termasuk di dalam to do list saya, tetapi seorang teman kantor mengajak saya untuk pergi ke sana. Akhirnya saya pun setuju untuk melakukan perjalanan ini bersamanya.Â
Pada pertengahan bulan Juli 2022, kami bertiga berangkat ke Sumba.Â
Kami mulai perjalanan di pagi hari dan transit semalam di Bali. Tentu saja di Bali kami tidak hanya berdiam diri saja, tetapi kesempatan ini kami gunakan juga untuk mengunjungi Bedugul (Danau Bratan) dan Jatiluwih.Â
Namun sayang saat kami di Bedugul hujan turun dan ketika tiba di Jatiluwih cuacanya masih berkabut, sehingga foto-foto yang dihasilkan tidak seperti yang sering kami lihat di internet.Â
Walaupun begitu, sesi foto-foto tetap kami lakukan.Â
Setelah itu, sebelum check in di hotel di Jimbaran, kami menyempatkan untuk bertemu teman yang mengundang kami untuk makan malam bersama di Denpasar.Â
Jam 9 malam akhirnya kami menuju hotel dan siap beristirahat karena kami kurang tidur dan pada pagi hari keesokan harinya kami akan melanjutkan perjalanan ke Sumba.
Keesokan harinya bersama seorang teman, saya masih menyempatkan diri untuk berjalan pagi di pantai Jimbaran sebelum sarapan dan pergi ke bandara. Pada jam 7:30, taksi yang kami pesan tiba dan kami bertiga langsung berangkat ke bandara.Â
Pagi itu kami terbang menggunakan NAM Air. Saat tiba di bandara Tambolaka, kami sudah dijemput oleh pemandu kami (Alfons). Â Karena masih pagi, kami belum bisa check in hotel, jadi koper-koper kami titipkan dahulu dan kami mulai menjelajahi Sumba.Â
Namun sebelumnya kami makan siang terlebih dahulu. Wah ... ternyata, makanan yang kami pesan porsinya besar-besar sehingga kami kewalahan untuk menghabiskannya. Ini akibat dari "lapar mata".
Setelah makan siang kami pergi menuju desa adat Ratenggaro di Sumba Barat Daya. Perjalanannya cukup jauh. Dalam perjalanan, kami sempatkan untuk berhenti dulu di sebuah toko untuk membeli makanan kecil dan permen untuk anak-anak.Â
Rupanya anak-anak ini akan memaksa kita untuk memberi uang dan menurut pemandu kami daripada memberi uang, lebih baik mereka kita beri makanan saja. Oleh karena itu, kami pun membeli makanan (biskuit) yang  akan kami berikan kepada anak-anak yang kami temui selama perjalanan.
Di sepanjang perjalanan kami melewati desa-desa dan sempat bertanya-tanya tentang batu-batu berbentuk kotak yang ada di halaman depan rumah mereka. Ketika teman saya bertanya pada Alfons, dia menjelaskan batu-batu tersebut merupakan kubur keluarga.Â
Jadi rupanya menurut kepercayaan Marapu, orang Sumba tidak bisa jauh dari kerabatnya yang sudah meninggal.Â
Oleh karena itu mereka meletakkan batu kubur di halaman depan rumah-rumah mereka. Kalau batu-batu tersebut sudah tertutup artinya kubur tersebut sudah ada isinya, Â tetapi jika pintunya masih terbuka maka kubur tersebut belum terisi.Â
Nah nanti jika ada lagi anggota keluarga yang meninggal dan kubur sudah tertutup, pintunya akan dibuka kembali dan mayat yang baru akan diletakkan di situ. Kubur ini ada yang bentuknya kecil dan ada yang besar.Â
Selain di halaman depan rumah, kubur juga ada di bagian depan desa. Nah ini merupakan kubur desa dan jumlahnya banyak. Menarik sekali!
Saat kami melewati desa-desa tersebut, kami melihat beberapa anak sedang bermain. Ketika kami panggil, mereka berhamburan datang. Awalnya malu-malu, tetapi ketika tahu kami memberi mereka makanan, anak-anak lain pun ikut mendekati mobil dan minta diberi makanan pula.Â
Ada juga yang meminta uang, tapi kami tolak. Mereka nampak senang sekali menikmati biskuit yang kami berikan, walaupun untuk orang-orang yang hidup berkecukupan biskuit itu mungkin tidak ada artinya.
Setelah berkendara satu jam lebih, kami akhirnya tiba di desa adat Ratenggaro. Setelah membayar tiket masuk, kami berjalan memasuki desa adat itu. Dari kejauhan kami bisa melihat atap rumah-rumah mereka yang menjulang tinggi. Menurut penjelasan penduduk di kampung adat tersebut atap rumah mereka memiliki ornamen tertentu yang bentuknya menunjukkan laki-laki dan perempuan.Â
Sebelum memasuki desa kita bisa melihat kubur batu yang berjajar di sepanjang jalan menuju desa. Di desa tersebut kita bisa melihat para ibu duduk di bale-bale di rumah mereka menawarkan kain tenun dan ada juga para bapak yang menawarkan ukiran khas Sumba.Â
Ketika kami jalan menuju belakang ke bagian yang menghadap pantai, mulailah muncul anak-anak yang mulai memaksa kami untuk membeli kalung atau naik kuda. Mereka juga menawarkan jasa untuk mengambil foto. Kata-kata yang digunakan sama dan diulang berkali-kali. Kita harus sabar menghadapi mereka. Kasih saja senyum dan katakan 'tidak' jika memang tidak mau.
Pemandangan ke pantai indah sekali. Air lautnya berwarna hijau tosca dengan pasir putihnya. Cantik luar biasa. Beruntung sekali orang-orang yang sehari-harinya mendapatkan pemandangan indah tersebut. Kami sempat juga bercakap-cakap dengan mereka dan bertanya ini itu pada mereka. Pengetahuan baru kami dapatkan dari mereka.
Setelah puas menikmati keindahan desa adat tersebut, kami berjalan menuju pantai. Tentu saja kami dibuntuti oleh anak-anak yang 'ngoceh ' minta uang untuk sekolah atau membeli seragam.Â
Kami serba salah, jika diberi ini akan menjadi kebiasaan tapi jika tidak rasanya kok tega sekali. Tapi pemandu kami sudah mewanti-wanti agar kami tidak memberi uang.
Di pantai, seperti halnya di desa adat, anak-anak mulai mendekat dan menawarkan jasa untuk mengambil foto. Ketika kami ajak untuk foto bersama pun mereka minta uang.Â
Aduh ... akhirnya kami beri uang untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak yang ada di dalam foto. Saat kami akan kembali ke Tambolaka, mereka kami beri makanan kecil dan permen yang sudah kami siapkan. Mereka nampak senang sekali.
Sebelum kembali ke Tambolaka kami mampir ke pantai Pero untuk melihat sunset. Cuaca saat itu sedikit mendung, jadi kami pesimis bisa melihat matahari terbenam. Pantai ini penuh dengan karang-karang tajam dan ombaknya besar.Â
Akhirnya kami hanya berjalan-jalan di pantai dan melihat kegiatan penduduk lokal yang sedang memunguti rumput laut untuk makan malam mereka.Â
Banyak anak kecil berenang dan saat didekati mereka agak takut-takut. Akhirnya kami bisa berfoto dengan mereka. Mengingat cuaca sedang mendung dan dan kami tidak bisa melihat sunset , akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke  Tambolaka.
Kami tiba di Tambolaka jam 7 malam dan langsung makan malam.Â
Setelah makan malam kami menuju hotel Ella untuk beristirahat karena keesokan harinya kami akan melanjutkan perjalanan ke Waingapu di Sumba Timur.Â
Perjalanannya akan memakan waktu cukup lama.
gmt 21/07/22
foto-foto: koleksi pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI