Oleh: Muhammad Rafi
Di tengah perdebatan siapa yang layak disebut kerajaan tertua di Indonesia, satu nama yang nyaris selalu muncul di garis depan: Kutai Martadipura. Berdiri di Kalimantan Timur sekitar abad ke-4 Masehi, kerajaan ini bukan cuma jejak awal kebudayaan Hindu di Nusantara, tapi juga contoh konkret bagaimana tatanan sosial terbentuk sejak masa awal peradaban lokal.
Dalam kacamata antropologi sosial, menarik banget buat membedah bagaimana ruang lingkup sosial di Kerajaan Kutai berjalan dan terbentuk. Nggak sekadar bicara soal bangsawan dan rakyat biasa, tapi juga menyangkut proses bagaimana kelompok-kelompok sosial itu tercipta, diakui, dan punya peran masing-masing.
Ruang Lingkup Mikro dan Makro: Dari Dapur Rakyat ke Singgasana Raja
Secara umum, ruang lingkup sosial dalam masyarakat dibagi dua: mikro dan makro. Di Kutai, ruang lingkup mikro bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari---seperti interaksi dalam keluarga bangsawan, komunitas petani lokal, atau bahkan para pemuka agama yang menjadi perantara ajaran Hindu dengan rakyat.
Sementara itu, ruang lingkup makro terbentuk dari struktur sosial yang lebih luas: sistem kerajaan itu sendiri, wilayah kekuasaan yang meliputi Kalimantan Timur dan sekitarnya, hingga interaksi Kutai dengan kekuatan eksternal seperti pedagang India yang membawa budaya dan sistem kepercayaan baru.
Studi Kasus: Kelas Sosial di Kutai, Bukan Sekadar Soal Uang
Salah satu elemen penting dari ruang lingkup sosial di Kerajaan Kutai adalah pembentukan kelas sosial. Kasta atau lapisan masyarakat tidak dibentuk berdasarkan kekayaan semata, tapi lebih kuat karena garis keturunan dan kekuasaan. Misalnya, keluarga kerajaan dari Dinasti Kudungga (yang namanya tertulis dalam Yupa) memegang posisi eksklusif sebagai elite, diikuti oleh kaum bangsawan, rakyat biasa, hingga budak.
Yang menarik, identitas masyarakat Kutai juga dibentuk oleh faktor budaya dan spiritualitas. Adopsi agama Hindu memunculkan kelompok brahmana dan menjadikan ritual sebagai alat kohesi sosial. Ini membentuk struktur yang nggak cuma hierarkis, tapi juga sakral---di mana raja dianggap sebagai perantara dewa.
Apa Relevansinya Hari Ini?