Yang tentunya, tidak hanya bermuatan positif, tetapi terkadang juga mengarah pada komentar negatif.Â
Misalnya anak yang mengalami speech delay, "Kenapa anaknya belum bisa ngomong, padahal  usianya sudah 3 tahun, anak saya 1,5 tahun udah mulai mengeja kata, loh".
Atau bahkan melihat dari sudut parents yang lain, seperti "Kok rumahnya berantakan, padahal katanya stay at home mom, anak 2 saja susah ngurus rumah ya, apalagi banyak." Â
Walaupun menjadi influncer sudah resikonya mendapatkan pro dan kontra, tetapi kebebasan berkomentar yang disalahgunakan ini dapat membebani psikis orang tua.Â
Sehingga muncul parental guilt. Yaitu, perasaan bersalah orang tua karena merasa tidak cukup baik menjalankan perannya.Â
Studi dari Journal of Family Issues (2023) mencatat, 45% ibu yang aktif di medsos, memiliki kecemasan yang lebih tinggi akibat perbandingan sosial.
Selain itu, Â Dalam penelitian Padoa et al. (2018) menunjukkan bahwa perbandingan sosial di medsos berdampak negatif pada kesehatan mental ibu dan munculnya standar baru yang mengarah pada perfectionist.Â
Di lain sisi, parents shaming dan parental guilt juga seringkali muncul ketika anak remaja, anak mengetahui informasi parenting di media sosial dan cenderung menyalahkan konsep pengasuhan orang tuanya.Â
Bahkan, tak sedikit anak yang oversharing dengan pengasuhan orang tuanya yang dianggap keliru, Hal ini.karena paparan medsos tentang parenting, terkadang menciptakan Dunning-Kruger Effect atau dengan kata lain sok pintar.Â
Padahal, tidak setiap pesan parenting yang dibagikan influencer itu benar dan sesuai dengan apa yang seharusnya diterapkan, apalagi jika bersinggungan dengan nilai-nilai spiritual yang dianut.Â
Romantisasi Parental Burnout dan Humblebrag