Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ekonomi Atensi: Bagaimana Algoritma dan Hal-Hal Viral Mengendalikan Dompet dan Pikiran Kita

3 Oktober 2025   11:50 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:18 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedang untuk UMKM, budaya viral ini bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ketika produk mereka yang kebetulan viral, omzet bisa melonjak sangat tajam. Tapi di sisi lain, kontinyuitas produk mereka jadi rentan di saat yang sama. Karena viralitas biasanya bersifat sementara. Bahkan ada beberapa orang yang bilang, hukum viralitas itu biasanya berlaku hanya 2 bulan paling lama. Begitu viralitasnya selesai, permintaan produk mereka kembali anjlok.

Banyak pelaku usaha kecil yang kewalahan memenuhi pesanan hanya saat awal-awal viral, lalu merugi ketika viralnya berakhir dan stok produk terlanjur di buat dan akhirnya menumpuk di gudang. Untuk bisa menghabiskannya kembali, tak jarang mereka jual rugi lagi produk-produk ‘eks viral’ itu.

Di level makro, budaya viral melahirkan sebuah ‘ekonomi atensi.’ Yang diperjualbelikan bukan lagi hanya barangnya, melainkan perhatian calon konsumennya. Perhatian kita adalah komoditas, dan kita adalah konsumen sekaligus produk yang dijual.

Ketika Viral Jadi Alat Kekuasaan Politik

Tidak hanya ekonomi yang bermain, politik juga ikut masuk dalam logika viral-viralan ini. Politisi masa kini sepertinya sudah paham; untuk bisa menarik simpati publik, mereka tidak butuh pidato yang panjang-panjang atau visi misi yang terlalu mendalam. Cukup dengan satu gimmick, satu soundbite lucu, atau satu video TikTok yang relatable dengan tren masa kini, sudah cukup untuk jadi jaminan mereka akan populer di mata masyarakat dan mendapatkan banyak dukungan dari sana. Viralitas kini jauh lebih penting daripada substansi. Miris.

Akibatnya, demokrasi makin terasa dangkal. Isu-isu besar seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, atau korupsi bisa dengan mudah tenggelam karena publik lebih sibuk memperdebatkan hal-hal yang remeh tapi viral daripada menelisik substabsi dari sebuah masalah. Budaya ini adalah celah berharga di mata politisi-politisi yang oportunis, selama mereka bisa membuat sebuah sensasi, mereka tetap bisa relevan dan diingat masyarakat.

Dengan kata lain, budaya yang terlalu mendewakan viral ini bukan hanya sanggup membentuk pola konsumsi masyarakat, tapi juga mampu membentuk arah politik massa. Dan di sini, kita tidak lagi sekadar penonton, tapi juga pemilih yang sayangnya dapat dengan mudah dipengaruhi oleh tren-tren sesaat yang kadang sesat.

Kritik Budaya: Dangkal atau Kreatif?

Sedari tadi kita selalu menyalahkan dan membenci budaya viralitas ini, apakah ia sedemikian buruknya? Sebenarnya, tidak juga. Tentu ada sisi positif dari budaya ini. Ia membuka ruang kreativitas yang semakin luas, melahirkan ekspresi-ekspresi baru akan segala hal dan rasa, memberi peluang ekonomi bagi para kreator digital dan pelaku usaha, baik besar dan usaha kecil. Budaya viral membuat anak muda masa kini bisa menciptakan tren mereka sendiri, tanpa harus bergantung pada media arus utama.

Namun, sisi negatifnya yang sedari tadi kita singgung tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Budaya yang dangkal, konsumsi impulsif yang brutal, dan politik yang jadi makin penuh dengan gimmick. Semuanya bergerak begitu cepat, tapi jarang yang bertahan lama. Pertanyaannya: apakah kita masih punya ruang tersisa untuk sesuatu yang mendalam, atau kita sudah terjebak dan harus pasrah dalam siklus “cepat viral, cepat dilupakan” begitu saja?

Di tengah pusaran masif era ini, otentisitas menjadi kunci. Tidak semua tren harus diikuti. Tidak semua yang viral akan relevan dengan diri kita. Menjadi konsumen kritis berarti tahu kapan tren bisa jadi inspirasi, dan kapan ia hanya akan jadi jebakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun