Di era media sosial seperti saat ini, ‘viral’ bukan lagi sekadar kata yang asing. Ia kini perlahan sudah menjelma jadi cara hidup banyak orang, bahkan menjadi tolok ukur sebuah eksistensi.
Apa pun bisa diviralkan pada masa ini; es kopi super jumbo dengan topping yang manis-manis dan harga receh, skincare abal-abal yang berani klaim heboh glowing instan dalam satu malam, outfit thrifting yang dipakai seleb-seleb TikTok, sampai gimmick-gimmick politik pejabat kita yang sepertinya sengaja dirancang untuk jadi bahan obrolan di internet dan mengalihkan isu-isu besar lainnya. Viral kini bukan lagi sebuah kejutan tanpa kesengajaan, tapi menjadi sebuah strategi yang dipikirkan dan diatur sedemikian rupa.
Generasi Z yang lahir dan besar di tengah banjir informasi digital, menjadi pemain sekaligus korban terbesar dari budaya absurb ini. Mereka menyerap segala yang trending secepat algoritma mendorong mata kepala mereka semakin lama untuk terpaku ke layar monitor, lalu tiba-tiba melepaskannya secepat jari jemari mereka menggeser timeline sosial medianya.
Di balik segala kehebohan itu, ada lagi perasaan fear of missing out (FOMO) yang semakin lama semakin menyandera hampir setiap anak-anak muda masa kini. Ada konsumsi impulsif yang mencekik mereka, ada pula politik-politik pencitraan yang menyusup tanpa ampun, dan lusinan berita-berita hoax yang dirancang untuk terus menyerap sebanyak mungkin atensi mereka.
Pertanyaan mendasarnya sekarang adalah, siapa yang sebenarnya harus memegang kendali akan budaya viral yang ‘memabukkan’ ini? Kita, atau algoritmanya?
Takut Ketinggalan Trend Baru Menjadi Norma Baru
Bagi mereka yang sudah masuk dalam candu akut budaya FOMO yang tak sehat ini, tidak update akan sebuah tren sama dengan terasing dari pergaulan. Pengetahuan dan pengalaman akan sebuah tren terbaru kini menjelma menjadi mata uang sosial yang baru. Obrolan anak-anak muda masa kini tak jauh dari sekitar produk-produk viral, dance challenge TikTok terbaru, atau tempat-tempat makan hits yang baru buka di suatu tempat.
Bagi mereka, seperti itulah seharusnya hidup. Mereka yang tidak banyak tahu tentang topik-topik tadi, maka dengan sendirinya akan menjadi terasing dan tidak lagi punya teman untuk berbagi cerita. Karena pengalaman yang ia punya dan bawa tidak lagi relevan dengan yang anak muda lainnya mau.
Akhirnya rasa FOMO akan sebuah tren bukan lagi sekadar perasaan takut atau cemas belaka. Tetapi juga menjadi kebutuhan untuk mendapatkan validasi dalam circle pergaulan mereka. Aktif mengikuti tren yang sedang viral dianggap sebagai tanda bahwa seseorang “ada” di dunia sosial saat ini.
Di sinilah algoritma telah bekerja sebegitu licinnya dan mengatur segalanya. Ia akan memastikan hal-hal yang sedang tren tidak akan pernah habis, selalu ada yang baru.
Selalu ada yang harus anak-anak muda ini ikuti untuk dipamerkan ke circle pergaulan mereka lagi. Ia merupa bandar viralisme, candunya pun terasa nyata mempengaruhi emosi dan perkembangan sosial anak-anak zaman sekarang. Dan bagi kebanyakan anak muda masa kini, mengikuti tren bukan lagi pilihan, tapi memang sebuah kewajiban agar tidak merasa tertinggal dari teman-temannya.
Algoritma Jadi Kompas Belanja
Kalau dulu daftar kebutuhan lah yang menentukan kapan harus berbelanja dan barang apa saja yang harus dibeli. Tapi kini tren dan hal-hal viral yang menentukan daftar belanja kebanyakan anak-anak muda masa kini. Produk-produk yang sedang ramai di FYP TikTok bisa sold out hanya dalam hitungan jam. Tempat makan yang semalam viral, bisa tiba-tiba penuh antrean pelanggan esok paginya. Fashion yang dipakai salah satu influencer bisa melesat jadi gaya baru dalam semalam, hanya karena sering dibicarakan orang di FYP TikTok.
Masalahnya, budaya konsumtif brutal ini bukan dibangun di atas kebutuhan, melainkan dorongan impulsif. Siklusnya pun bisa dibilang cukup singkat: produknya viral, dieksploitasi gila-gilaan, lalu dilupakan begitu saja. Seseorang bisa membeli sesuatu dengan alasan hanya untuk ngonten dan sekedar memenuhi rasa ingin tahu, bukan karena benar-benar akan dipakai. Efeknya ke ekonomi personal mereka jelas akan terasa sekali jika mereka tidak segera sadar dan menghentikan kebiasaan buruknya itu.
Banyak pekerja-pekerja muda yang memposting keluh kesahnya di sosial media, rata-rata mereka mengeluhkan jika gajinya habis sebelum akhir bulan. Bahkan mereka sendiri sadar jika uang itu sebagian besar habis bukan untuk memenuhi kebutuhannya, tapi untuk sekedar ikut tren agar bisa diupload ke sosial media dan tetap merasa relate dengan sekitarnya.
Pada kasus ini, konsumen tidak lagi berdaulat atas kebutuhan dan uangnya. Algoritma menentukan tren, tren memicu FOMO, dan FOMO akhirnya mengendalikan prioritas belanja mereka.
Tuntutan Eksistensi Semu yang Melelahkan
Hidup demi bisa viral bukan hanya bicara soal konsumsi barang, tapi juga tentang konsumsi citra. Standar hidup ‘keren’ di kepala orang terus berubah mengikuti tren yang ada. Hari ini harus nongkrong di cafe-cafe estetik, besok harus upload OOTD thrift premium, lusa harus ikut challenge dance yang sedang naik daun.
Bagi mereka yang tak mampu mengikuti itu semua dan hanya bisa jadi penonton, tak jarang akan muncul perasaan rendah diri di hati mereka. Media sosial, yang seharusnya jadi ruang ekspresi, berubah menjadi panggung untuk adu banding-bandingan hidup. Tekanan untuk selalu tampak sempurna di sosial media, membuat banyak anak muda merasa dirinya selalu tidak cukup dan gagal. Tidak sedikit yang akhirnya mengalami serangan kecemasan, stres berlebihan, bahkan depresi karena terlalu menganggap serius standar-standar yang diciptakan di dunia maya.
Brand yang Diuntungkan, UMKM yang Gelagapan
Budaya viral yang serba konsumtif seperti ini adalah ladang emas bagi brand-brand besar. Dengan modal promosi singkat lewat influencer atau strategi-startegi konten sosmed, mereka bisa meraih penjualan fantastis dalam waktu singkat. Biaya iklan pun berkurang drastis, karena konsumen sendiri yang menyebarkan produk mereka lewat review-review di sosial media. Ajaibnya mereka melakukan itu dengan sukarela, tanpa diminta dan diendorse sama sekali oleh si brand. Sungguh kemenangan mutlak bagi brand yang produknya makin viral.
Sedang untuk UMKM, budaya viral ini bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ketika produk mereka yang kebetulan viral, omzet bisa melonjak sangat tajam. Tapi di sisi lain, kontinyuitas produk mereka jadi rentan di saat yang sama. Karena viralitas biasanya bersifat sementara. Bahkan ada beberapa orang yang bilang, hukum viralitas itu biasanya berlaku hanya 2 bulan paling lama. Begitu viralitasnya selesai, permintaan produk mereka kembali anjlok.
Banyak pelaku usaha kecil yang kewalahan memenuhi pesanan hanya saat awal-awal viral, lalu merugi ketika viralnya berakhir dan stok produk terlanjur di buat dan akhirnya menumpuk di gudang. Untuk bisa menghabiskannya kembali, tak jarang mereka jual rugi lagi produk-produk ‘eks viral’ itu.
Di level makro, budaya viral melahirkan sebuah ‘ekonomi atensi.’ Yang diperjualbelikan bukan lagi hanya barangnya, melainkan perhatian calon konsumennya. Perhatian kita adalah komoditas, dan kita adalah konsumen sekaligus produk yang dijual.
Ketika Viral Jadi Alat Kekuasaan Politik
Tidak hanya ekonomi yang bermain, politik juga ikut masuk dalam logika viral-viralan ini. Politisi masa kini sepertinya sudah paham; untuk bisa menarik simpati publik, mereka tidak butuh pidato yang panjang-panjang atau visi misi yang terlalu mendalam. Cukup dengan satu gimmick, satu soundbite lucu, atau satu video TikTok yang relatable dengan tren masa kini, sudah cukup untuk jadi jaminan mereka akan populer di mata masyarakat dan mendapatkan banyak dukungan dari sana. Viralitas kini jauh lebih penting daripada substansi. Miris.
Akibatnya, demokrasi makin terasa dangkal. Isu-isu besar seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, atau korupsi bisa dengan mudah tenggelam karena publik lebih sibuk memperdebatkan hal-hal yang remeh tapi viral daripada menelisik substabsi dari sebuah masalah. Budaya ini adalah celah berharga di mata politisi-politisi yang oportunis, selama mereka bisa membuat sebuah sensasi, mereka tetap bisa relevan dan diingat masyarakat.
Dengan kata lain, budaya yang terlalu mendewakan viral ini bukan hanya sanggup membentuk pola konsumsi masyarakat, tapi juga mampu membentuk arah politik massa. Dan di sini, kita tidak lagi sekadar penonton, tapi juga pemilih yang sayangnya dapat dengan mudah dipengaruhi oleh tren-tren sesaat yang kadang sesat.
Kritik Budaya: Dangkal atau Kreatif?
Sedari tadi kita selalu menyalahkan dan membenci budaya viralitas ini, apakah ia sedemikian buruknya? Sebenarnya, tidak juga. Tentu ada sisi positif dari budaya ini. Ia membuka ruang kreativitas yang semakin luas, melahirkan ekspresi-ekspresi baru akan segala hal dan rasa, memberi peluang ekonomi bagi para kreator digital dan pelaku usaha, baik besar dan usaha kecil. Budaya viral membuat anak muda masa kini bisa menciptakan tren mereka sendiri, tanpa harus bergantung pada media arus utama.
Namun, sisi negatifnya yang sedari tadi kita singgung tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Budaya yang dangkal, konsumsi impulsif yang brutal, dan politik yang jadi makin penuh dengan gimmick. Semuanya bergerak begitu cepat, tapi jarang yang bertahan lama. Pertanyaannya: apakah kita masih punya ruang tersisa untuk sesuatu yang mendalam, atau kita sudah terjebak dan harus pasrah dalam siklus “cepat viral, cepat dilupakan” begitu saja?
Di tengah pusaran masif era ini, otentisitas menjadi kunci. Tidak semua tren harus diikuti. Tidak semua yang viral akan relevan dengan diri kita. Menjadi konsumen kritis berarti tahu kapan tren bisa jadi inspirasi, dan kapan ia hanya akan jadi jebakan.
Kita semua perlu menyadari bahwa segala hal yang viral itu pada akhirnya hanyalah ombak. Kita bisa memilih untuk berselancar di atasnya, atau membiarkannya melewati kita begitu saja. Menjadi bahaya ketika kita kemudian hanyut tanpa sadar dalam waktu yang lama. Karena pada akhirnya, semua yang viral akan berlalu, tapi identitas dan jati diri kitalah yang akan menetap. Jadi tentukan mulai sekarang, mau jadi seperti apa diri kita di masa yang akan datang, setelah semua hal-hal viral itu berlalu?
"Kalau hal-hal viral hanyalah ombak, maka jati dirimu yang otentik adalah jangkarnya. Tanpa jangkar, kita hanya akan jadi kapal kecil yang terombang-ambing tanpa arah."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI