Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ekonomi Atensi: Bagaimana Algoritma dan Hal-Hal Viral Mengendalikan Dompet dan Pikiran Kita

3 Oktober 2025   11:50 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:18 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu ada yang harus anak-anak muda ini ikuti untuk dipamerkan ke circle pergaulan mereka lagi. Ia merupa bandar viralisme, candunya pun terasa nyata mempengaruhi emosi dan perkembangan sosial anak-anak zaman sekarang. Dan bagi kebanyakan anak muda masa kini, mengikuti tren bukan lagi pilihan, tapi memang sebuah kewajiban agar tidak merasa tertinggal dari teman-temannya.

Algoritma Jadi Kompas Belanja

Kalau dulu daftar kebutuhan lah yang menentukan kapan harus berbelanja dan barang apa saja yang harus dibeli. Tapi kini tren dan hal-hal viral yang menentukan daftar belanja kebanyakan anak-anak muda masa kini. Produk-produk yang sedang ramai di FYP TikTok bisa sold out hanya dalam hitungan jam. Tempat makan yang semalam viral, bisa tiba-tiba penuh antrean pelanggan esok paginya. Fashion yang dipakai salah satu influencer bisa melesat jadi gaya baru dalam semalam, hanya karena sering dibicarakan orang di FYP TikTok.

Masalahnya, budaya konsumtif brutal ini bukan dibangun di atas kebutuhan, melainkan dorongan impulsif. Siklusnya pun bisa dibilang cukup singkat: produknya viral, dieksploitasi gila-gilaan, lalu dilupakan begitu saja. Seseorang bisa membeli sesuatu dengan alasan hanya untuk ngonten dan sekedar memenuhi rasa ingin tahu, bukan karena benar-benar akan dipakai. Efeknya ke ekonomi personal mereka jelas akan terasa sekali jika mereka tidak segera sadar dan menghentikan kebiasaan buruknya itu.

Banyak pekerja-pekerja muda yang memposting keluh kesahnya di sosial media, rata-rata mereka mengeluhkan jika gajinya habis sebelum akhir bulan. Bahkan mereka sendiri sadar jika uang itu sebagian besar habis bukan untuk memenuhi kebutuhannya, tapi untuk sekedar ikut tren agar bisa diupload ke sosial media dan tetap merasa relate dengan sekitarnya.

Pada kasus ini, konsumen tidak lagi berdaulat atas kebutuhan dan uangnya. Algoritma menentukan tren, tren memicu FOMO, dan FOMO akhirnya mengendalikan prioritas belanja mereka.

Tuntutan Eksistensi Semu yang Melelahkan

Hidup demi bisa viral bukan hanya bicara soal konsumsi barang, tapi juga tentang konsumsi citra. Standar hidup ‘keren’ di kepala orang terus berubah mengikuti tren yang ada. Hari ini harus nongkrong di cafe-cafe estetik, besok harus upload OOTD thrift premium, lusa harus ikut challenge dance yang sedang naik daun.

Bagi mereka yang tak mampu mengikuti itu semua dan hanya bisa jadi penonton, tak jarang akan muncul perasaan rendah diri di hati mereka. Media sosial, yang seharusnya jadi ruang ekspresi, berubah menjadi panggung untuk adu banding-bandingan hidup. Tekanan untuk selalu tampak sempurna di sosial media, membuat banyak anak muda merasa dirinya selalu tidak cukup dan gagal. Tidak sedikit yang akhirnya mengalami serangan kecemasan, stres berlebihan, bahkan depresi karena terlalu menganggap serius standar-standar yang diciptakan di dunia maya.

Brand yang Diuntungkan, UMKM yang Gelagapan

Budaya viral yang serba konsumtif seperti ini adalah ladang emas bagi brand-brand besar. Dengan modal promosi singkat lewat influencer atau strategi-startegi konten sosmed, mereka bisa meraih penjualan fantastis dalam waktu singkat. Biaya iklan pun berkurang drastis, karena konsumen sendiri yang menyebarkan produk mereka lewat review-review di sosial media. Ajaibnya mereka melakukan itu dengan sukarela, tanpa diminta dan diendorse sama sekali oleh si brand. Sungguh kemenangan mutlak bagi brand yang produknya makin viral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun