Dunia Digital sebagai Panggung Baru Unjuk Rasa
Generasi Z, generasi anak-anak yang lahir antara tahun 1997-2012, seringkali disebut sebagai "anak layar" (Screen Kids). Mereka tumbuh dengan gawai di genggaman, internet di saku, dan media sosial sebagai ruang bermain, belajar, sekaligus berpolitik.Â
Apa yang dulu harus dilakukan dengan turun ke jalanan, membawa-bawa spanduk besar dan toa, kini cukup dengan beberapa unggahan di Instagram, utas di X, atau satu hashtag saja, mereka dapat menjelma dari anak rumahan jadi aktivis internet dadakan.Â
Di sana mereka merasa memiliki suara, merasa bisa memengaruhi arah percakapan, bahkan arah kebijakan pemerintah.
Internet adalah ruang demokratis baru, siapa saja bisa berbicara, siapa saja bisa didengar. Tidak peduli apakah ia seorang mahasiswa di kota besar, pelajar SMA di pinggiran kota, atau pekerja lepas di pabrik-pabrik kecil.
Selama ada koneksi internet dan gawai, ia bisa ikut bersuara. Inilah keunikan Gen Z. Adanya perasaan bahwa mereka setara di dunia maya, meski dalam kenyataan hidup seringkali berkata lain.
Aktivisme Cepat Saji, Burukkah?
Namun, ada saja pihak yang menyebut gaya 'berpolitik' ini sebagai 'aktivisme cepat saji'. Instan, praktis, bisa langsung dibagikan. Tidak perlu berpanas-panasan di jalanan, tidak perlu berbenturan dengan aparat.Â
Cukup klik tombol 'bagikan' dan dunia seakan sudah tahu kalau kamu peduli akan sebuah hal. Pertanyaannya: apakah ini benar-benar perjuangan, atau sekadar performa di depan layar?
Fenomena ini muncul bukan tanpa alasan. Bagi Gen Z, hidup sudah terlalu penuh dengan tekanan. Tugas sekolah dan kuliah, persaingan kerja, kecemasan akan masa depan, semua ketidakpastian dan tekanan ini membuat mereka tidak mau ambil resiko yang lebih besar dengan turun ke jalan dengan kemungkinan besar akan berbentrokan dengan aparat di lapangan.Â