Orang-orang yang jadi 'pewaris non harta' ini seharusnya juga berhak bangga dan bahagia dengan hidup mereka, tapi nyatanya tidak. Karena mereka, pewaris non harta ini jadi membandingkan hidup mereka dengan hidup si bocah kaya itu dan beberapa dari mereka jadi minder dan hopeless.
Mari kembali ke video anak kecil tadi (setelah saya riset namanya ternyata Ryu Kintaro). Saya curiga ada tim kreatif di belakang bocah viral itu.
Bukan karena saya sinis, tapi karena semua ini terlalu rapi untuk dianggap spontan. Pilihan katanya, background dan momen videonya, bahkan hand gesture-nya, terlalu sempurna untuk anak usia 9 tahun yang mungkin seharusnya baru lulus SD.
Seperti yang sudah bisa diprediksi, publik pun terbelah. Sebagian membela: "Biarin aja, anak kecil udah pinter motivasi!"
Sebagian marah: "Ini eksploitasi! Ini pencitraan!" Dan sebagian besar... menonton, membagikan, dan melanjutkan siklus keterpancingan.
Seperti yang saya bilang tadi, bisa jadi ini hanyalah sebuah video yang mungkin dibuat dengan tujuan untuk rage baiting saja. Hanya ingin memicu kemarahan dan penasaran orang, yang at least mengklik videonya dan menontonnya sampai habis.
Di sinilah para kreator ragebait tersenyum dan berkata dalam hati:
"Kemarahan kalian adalah mata uang kami. Terima kasih."
Coba bayangkan kisah berikut ini:
Seorang bocah bernama Gilang hidup di desa. sehari-hari Ia membantu ibunya mencuci baju orang yang lebih kaya darinya, lalu malam harinya menjadi penyapu di masjid, hanya agar bisa makan tahu goreng setiap harinya.
Tapi tidak ada yang mau mendengarkan Gilang. Ia tidak lucu, tidak tampan, tidak punya ring light. Suaranya sumbang, dan bajunya kebesaran. Ia hanya anak biasa.
Lalu datanglah Raka, seorang kids influencer dengan jutaan followers sekaligus anak CEO sebuah perusahaan beras premium bersama rombongan-rombongannya.
Dengan mengenakan jaket kulit dan sepatu mahalnya, ia menghampiri petani-petani di desa tempat Gilang tinggal, asistennya keluar dari mobil dengan membawa sebuah kursi lipat dan payung besar, petani-petani tanpa dikomando langsung berhenti dari semua aktivitasnya dan duduk mengelilingi kursinya.Â
Raka kemudian duduk dan berkata, "Kita harus kerja keras nggeh bapak ibu, jangan manja."
Orang-orang yang menyaksikan pun berseru:
"Lihat tuh, masih kecil tapi semangat! Hebat!"
Padahal, Gilang-lah yang benar-benar tahu makna kerja keras.
Tapi Gilang tidak punya kanal YouTube.
Ia hanya punya radio butut di kamar sempitnya.
Ingat, cerita di atas hanya sebatas kisah. Saya sudah peringatkan Anda, kan. Di sosial media, banyak cerita-cerita kaya-miskin yang terlalu hiperbolik seperti itu, dan banyak yang suka. Banyak penontonnya.
Sekarang pertanyaannya, kenapa kita mudah sekali percaya pada konten-konten semacam itu?
Mungkinkah karena kita haus akan harapan, meski kita sebenarnya tahu bahwa itu palsu?
Kita ingin melihat anak kecil berbicara seperti orang dewasa, walau tahu itu diajari dan bukan alami?
Kita ingin mendengar kisah perjuangan, walau dibalut setting studio dan lighting mahal?
Kita suka ya ternyata dibohongi, asalkan dikemas dengan rapi.
Toh, di era ini, siapa yang peduli apakah itu nyata atau tidak?
Yang penting engagement rate-nya tinggi.
Terakhir, untuk para perintis yang berjuang di luar sana tanpa sorot lampu dan kamera.
Tulisan ini saya tujukan untuk mereka yang memulai dari benar-benar nol.
Yang tidak punya koneksi, tidak tahu caranya membuat pitch deck.
Untuk kamu yang tidak punya ayah yang bisa mentransfer banyak uang jajan dan modal lewat rekening pribadi.
Untuk yang harus mencari recehan dari berjualan di bawah panas matahari, bukan di dalam studio dengan teks terhafal.
Untuk mereka yang tidak pernah viral, tapi tetap bangun pagi dan menguatkan langkah kaki.
Kalianlah perintis sejati.