Yang membuat saya garuk-garuk kepala adalah ketika orang yang lahir dengan segala kemudahan, mengaku memulai dari "nol" hanya karena bisnisnya belum punya nama. Mereka lupa, nol versi mereka dan nol versi rakyat jelata itu berbeda rupa.
Nol versi mereka adalah belum punya toko, tapi sudah punya modal. Kalau-kalau tokonya bangkrut, mereka bisa mulai lagi dari awal dengan nama usaha baru lagi.
Sedangkan kita, sekali gagal berusaha, ya amsyong. Nol versi mereka adalah kalau tidak ada lagi yang bisa dijadikan peluang usaha di sini ya mereka pindah ke Australia, Amerika, atau Inggris. Nol versi kita adalah kehabisan modal, usaha tidak kunjung profit dan tak ada yang bisa digadaikan untuk terus bertahan.
Nyatanya kita memang sedang hidup di sebuah era dimana kontroversi lebih menjual daripada kebenaran.
Saat ini keberanian mengatakan sesuatu yang memicu kemarahan publik dianggap sebuah strategi kreatif dan cerdas, utamanya untuk mendatangkan views dan rasa penasaran orang. Mereka menyebutnya engagement, saya menyebutnya rekayasa emosi.
Anak-anak seperti anak dalam video itu sering kali diarahkan, dibuatkan script dan take video tanpa diajari mempertanyakan 'untuk apa dan untuk siapa saya buat video ini.'
Anak- anak masa kini diajarkan untuk jadi viral, bukan untuk jadi jujur. Untuk jadi fenomena, bukan jadi manusia.
Maka jadilah seperti video yang viral itu, kita saksikan munculnya bocah-bocah di bawah umur yang berbicara layaknya motivator, lengkap dengan kutipan ala-ala startup dan jargon-jargon penuh gema, tapi hampa makna.
Pewaris, kini jadi kata yang semakin dibenci sepertinya setelah video viral itu muncul. Pewaris jadi digunakan dengan nada merendahkan, seolah-olah menerima sesuatu dari orang tua adalah aib.
Padahal jika kita pikir-pikir lagi bukankah sejatinya setiap anak adalah pewaris?
Warisan itu kan bukan cuma harta; bisa jadi warisan yang dimaksud adalah pengetahuan, trauma, atau bahkan utang.