Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

74 Tahun Indonesia dan Kedaulatan Digital

17 Agustus 2019   14:14 Diperbarui: 17 Agustus 2019   15:24 4330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kedaulatan Digital - Sumber Ilustrasi: pixabay.com

Hacker oleh typography Image - Ilustrasi: pixabay.com
Hacker oleh typography Image - Ilustrasi: pixabay.com
Digital Sovereignty 
Cara radikal yang kini menjadi perhatian adalah penerapan Digital Sovereignty (DS) atau kedaultan digital. Dan kedaulatan yang dimaksud adalah secara sistemik dan infrastruktur. Bukan kedaulatan yang mungkin kita anggap kemandirian dalam hal literasi digital, media, hukum dan potensi ancaman-ancamannya. Dan setidaknya kita maknai dari UU-ITE dan RUU-PDP di Indonesia.

Cara radikal memperoleh kedaulatan telah diberlakukan di China. Istilah The Great Firewall di China begitu ekstrim menyediakan infrastruktur digital, mengatur arus data, dan memonitor publik. Konsekuensinya, data Freedom House tahun 2018 menempatkan China di urutan pertama untuk kekangan kebebasan berekspresi secara digital penduduknya. 

The Great Firewall dimulai di tahun 2000 dengan prinsip menutup disrupsi budaya dan ideologi asing masuk ke China. Golden Shield Project saat itu merekrut 50 ribu tenaga baru untuk mensensor segala bentuk pelanggaran daring. Ditambah distribusi 500 juta konten dan posting para influencer yang pro-pemerintah tiap tahunnya.

Di Perancis, usulan DS menjadi polemik politis dan kenegaraan sejak 2016. Ekses dunia digital seperti pelanggaran privasi, peretasan, serangan siber, dan disinformasi mencetuskan cara radikal DS diberlakukan. DS yang diatur pemerintah nantinya secara khusus untuk: 

  • mengatur hardware apa saja dan dimana saja untuk menyimpan data penduduk 
  • memverifikasi kelaikan operating system yang mengontrol hardware
  • menginspeksi data dan program yang beroperasi di keduanya
  • mengkoordinasi dengan jaringan lain untuk memenuhi kriteria serupa diatas

Rusia kini juga menggagas kedaulatan digital serupa Perancis dengan sebutan Rusnet.  Walau dasar premis Rusnet lebih memutus akses internet global demi keamanan siber negara. Secara legislatif, kedaulatan digital ala Rusia digagas dalam Digital Economy National Program 2019-2024. Tidak main-main, pemerintah menggelontorkan dana sekitar 1,3 triliun RUB atau lebih dari 277 triliun IDR.

Semua provider telekomunikasi di Rusia wajib mengalihkan semua arus data dan informasi ke Roskomnazor, sebuah institusi pengawas Rusia. Otoritas Rusia pun telah menguji coba local backup Domain Name System (DNS) di tahun 2014 dan 2018. Dengan target 95% arus data internet berlaku secara lokal di tahun 2020.

Sedang posisi Indonesia berdaulat secara digital begitu pelik. Jurang infrastruktur antar daerah nusantara yang begitu lebar. Hal ini akibat demografi populasi yang terkonsentrasi di Jawa. Pun, secara latar belakang pendidikan dan kepedulian atas dunia digital masih terjadi digital divide antar generasi dan lokasi.

Berdaulat secara ekstrim ala China urung dilakukan. Pemerintah tak pun tidak ingin terjadi pembelotan dan demonstrasi publik yang kebebasan berekspresi (kembali) terkekang. Menggugat legislatif dan eksekutif dengan DS ala Perancis pun akan mentok di mata anggaran infrastruktur. Berfikir dua kali melepaskan diri dari internet global ala Rusia juga masih dalam mimpi.

Sehingga, memaknai kemandirian dan ketahanan bangsa di dunia digital menjadi target realistis Indonesia. Walau jumlah pengguna internet Indonesia terus meningkat. Hal ini tidak dibarengi dengan literasi digital yang baik dan komprehensif di sistem pendidikan kita.

Secara sporadis dan kuratif menanggulangi pelanggaran privasi. Mengcek fakta disinformasi. Menangkal serangan siber. Dan melacak pola radikalisasi dan ekstrimisme digital harus tak kenal lelah dilakukan. Meregulasi platform dan layanan digital dengan RUU yang lebih ketat juga menjadi langkah preventif.  

Dan yang paling penting, kedaulatan digital tidak boleh kompromi. 

Salam,

Wonogiri, 17 Agustus 2019
02:15 pm 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun