Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jurnalisme 4.0: Jurnalis Manusia vs Jurnalis Robot?

10 Februari 2019   00:00 Diperbarui: 11 Februari 2019   02:52 2303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Robo Journalism - Ilustrasi: financialtribune.com

Peran Artificial Intelligence (AI) cepat atau lambat akan menggantikan peran jurnalis manusia. Sebuah proposisi yang saya kira mengusik sekaligus menebar 'ketakutan' para jurnalis. Apalagi di Hari Pers Nasional tahun, proposisi di atas mungkin dianggap sebuah kemustahilan, atau nisbi.  

Walau mungkin sudah banyak yang mengetahuinya, beberapa kantor berita besar dunia berikut menggunakan sudah menggunakan robot atau AI dalam kerja jurnalistiknya:

  • Associated Press dengan robot bernama Automated Insight
  • Bloomberg News dengan robot bernama Cyborg
  • Forbes dengan robot bernama Bertie
  • Reuters dengan perusahaan teknologi AI Graphiq
  • The Guardian Australia
  • The Washington Post dengan Heliograf dan ModBot

Sejak 2014, Associated Press sudah mengaplikasikan AI di berita bisnis dan olahraga. Dan hasil yang didapat cukup mengejutkan.

Tercatat, 3.000 artikel/semester dari yang sebelumnya hanya 300 yang dipublikasi di 2015. Plus, dengan eror yang lebih sedikit daripada pada artikel buatan jurnalis manusia.

Dan untuk Heliograf dari The Washington Post sudah dianugrahi Biggies Award di tahun 2018. Biggies Award adalah penganugrahan jurnalisme berbasis big data. Dan dianggap piala 'Pulitzer' untuk AI. Ironisnya, Biggies Award 2018 dilangsungkan di tempat penganugrahan Pulitzer.

The New York Times belum ingin menggunakan robot untuk pemberitaannya. Namun mereka tertarik membuat berita lebih personal dengan algoritma subscribers. Begitupun dengan The Wall Street Journal dan Dow Jones yang mengimplementasi robot untuk mengenali foto dan video.

Ah, fenomena ini hanya terjadi di dunia Barat. Mungkin proposisi ini terbersit di fikiran kita saat ini. Namun, bukankah apa yang terjadi di dunia Barat akan bakal terjadi di negara kita.

Beritagar.id adalah salah satu portal berita yang memanfaatkan AI di Indonesia. Melalui algoritma ML dan NLP, beritagar.id mengkurasi berita dari konten digital yang ada. Dengan diproses Rekanalar berbasis data dari Lokadata. Berita disajikan dengan relevansi dan bahasa yang koheren.

Fenomena di atas mungkin dirundung nuansa distopis kalangan jurnalis. Mereka yang benar-benar paham benar teori, praktik, dan kode etik jurnalistik mungkin merasa tersinggung.

Mana mungkin sebuah algoritma AI mampu menggantikan jurnalis manusia? Apa mungkin robot tadi bisa datang ke lokasi untuk meliput? Ataukah mungkin robot mampu menyampaikan sentimen human interest dan emosi manusia?

Jurnalis bukan saja pekerjaan yang akan digantikan robot. Di artikel saya yang membahas tentang digital workforce, mulai dari supir truk sampai guru diramalkan akan digantikan oleh robot di masa depan. Bahkan profesi dokter bedah diramalkan demikian.

Seorang jurnalis berita digital pernah mengungkap kepada saya: Mempublikasi berita saat ini tidak cuma didebatkan di ruang redaktur, kini berita berpacu sengit dengan trending dan sentimen dunia maya. Berita viral via sosial media pun bisa menjadi bahan berita media arus utama.

Terlepas dari berita tersebut menyesatkan, kurang faktanya, atau sekadar merangkum konten viral, menjaga agar sebuah portal berita ada di laman pertama pencarian Google, tinggi dalam Google Analytic, dan rangking Alexa turut menjadi tuntutan jurnalis era digital saat ini.

Data oleh Geralt - Foto: pixabay.com
Data oleh Geralt - Foto: pixabay.com
Jurnalisme Data

Mungkin benar adanya pemahaman Yuval Noah Harari di bukunya Homo Deus. Pekerjaan di masa depan tak lain adalah tentang mengelola data. Mulai dari sistem perbankan, sistem pemerintahan, sampai sistem pendidikan. Pengolahan data menjadi kunci keberhasilan sebuah negara.

Saat setiap orang, peristiwa dan fenomena diunggah menjadi data digital. Entah itu berita liputan masa lalu, berita aktual, bahkan video amatir di lokasi kejadian kini bresliweran di dunia maya.

Tinggal bagaimana jurnalis (atau robot) mengemas atau mengkurasi data berkonten berita tersebut, mengambil istilah beritagar.id. 

Dengan trending berita yang cepat berganti serta tokoh dan peristiwa yang mungkin terjadi di lain waktu dan tempat tapi berkaitan. Apalagi publik yang melek dunia digital dan haus akan informasi. 

Mempublikasi konten berbanding lurus dengan kecepatan mendistribusikannya. Dengan kata lain, distribusi konten kadang menjadi fokus utama. 

Jika berita ralat di koran disampaikan di edisi hari berikutnya, maka berita bohong atau disinformasi yang terlanjur dipublikasi kini bisa diverifikasi setelah faktanya didapat. Dan kadang berselang tidak cukup lama dengan publikasi beritanya.

Badai disinformasi digital ini tidak cuma berbahaya bagi publik. Namun bagi ranah jurnalisme sebagai pemegang amanah kejujuran. Dan hal ini bukan cuma masalah lokal. Namun UNESCO melihatnya sebagai masalah global di era disrupsi teknologi 4.0 seperti sekarang.

Jurnalis pun dituntut untuk memonitor berita viral. Bahkan tak jarang di portal berita arus utama kini dibubuhi kolom #BeritaViral.

Selain sebagai cara agar portal berita dikunjungi, cara ini pun memfasilitasi publik yang penasaran dengan sudut pandang/kekhasan sebuah portal berita.

Pekerjaan jurnalis tak hayal di luar ruang redaksi. Bisa jadi 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Sedang jurnalis pun bisa lelah. Jurnalis pun memiliki kehidupan pribadi dan keluarga. Mereka tidak bisa terus menerus mempublikasi berita yang terjadi.

Robot bisa menjadi alternatif. Namun tentunya hal ini menyulut perdebatan etis. Persis seperti pertanyaan imajiner yang saya tulis di atas. Singkatnya, robot tidak mungkin sesempurna manusia dalam hal apapun.

Computers - Foto: pixabay.com
Computers - Foto: pixabay.com
Jalan Tengah yang Cukup Berat

Jalan keluar dari masa depan jurnalisme yang suram ini cukup berat. Selain harus membekali jurnalis dengan skill teknis dan digital, jurnalis mau tak mau akan bekerja beradaptasi dan memonitor kerja jurnalistik para robot.

Robot akan menjadi tool bahkan co-worker dalam kerja jurnalis di masa depan. Dengan kata lain, publikasi berita akan tetap menjadi otorisasi manusia. Karena data di dunia maya begitu bias, diskriminatif, dan berbahaya. 

Dalam bukunya Weapon of Math Destruction, Cathy O'Neill mengungkap sebuah fakta: Data yang disajikan dan dikumpulkan AI bisa sangat subjektif dan berbahaya; algoritma yang sudah tercipta dipenuhi informasi berasal dari begitu banyak data dari beberapa sumber dan rentang waktu tertentu saja. 

Contohnya lingkungan kulit hitam di US akan lebih ketat diawasi oleh polisi, karena tingkat kejahatannya tinggi. Dengan kata lain, bisa jadi berita viral dari daerah kulit hitam di US lebih cepat viral, daripada berita dari ras berkulit putih atau yang lainnya. 

Di sini peran jurnalis sebagai penyeimbang dan pemvalidasi berita menjadi penting. Jangan-jangan berita bohong viral, hanya karena berita tertentu mencatut nama suatu daerah kulit hitam. Apalagi berita viral tadi dibubuhi sentimen rasisme berlebihan netizen.

Robot berbasis AI belum mampu, sampai saat ini, mengolah data dengan tidak berbasis gender, etnisitas, negara, dan bahasa. Keterbatasan inilah yang baik secara teknis dan berprinsip pada kode etik jurnalistik, harus mampu difahami dan dikembangkan para jurnalis.

Di masa depan jurnalis akan bekerja dengan beragam robot canggih. Seperti aplikasi robot canggih dan sensor sosmed untuk liputan bencana alam. Menggunakan social listening tool dan asisten digitalu ntuk berita update dan viral., bahkan menggunakan virtual reality untuk meliput di tempat yang jauh. 

Jurnalis harus mulai mempelajari skill dan fungsi robot dalam jurnalisme. Dan robot ini tentu tidak dibuat sendirian oleh para periset big data. Jurnalis harus mendampingi atau memberi feedback pada para ilmuwan. Bahkan jurnalis ini bisa mengoperasikan kecerdasan buatan jurnalistik tersebut.

Walau mungkin nampak muram era jurnalisme digital bagi kebanyakan. Masih ada ranah dan profesi jurnalisme digital yang tidak diketahui. Maka tugas jurnalis saat ini untuk menelusur dan mempelajarinya.

Salam,

Solo, 09 Februari 2019

23:57 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun