Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korelasi "Discrepancy Theory" dan Konsep Diri di Media Sosial

2 Desember 2018   23:25 Diperbarui: 3 Desember 2018   04:22 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personality - Ilustrasi: discoversociology.co.uk

Dari ke 3 jenis konsep diri diatas yang bisa kita rekayasa. Maka dimungkinkan muncul ke 4 ketidaksesuaian konsep diri. Saat seorang dengan beragam akun, tentu akan menyadari konsep diri mana yang sedang log-in. Baik untuk sekadar bermain-main, atau berkomunikasi serius. Salah posting antar akun berkepribadian berbeda, akan merusak otentisitas akun.

Bisa saja terjadi multiple efek negatif secara psikologis dari konflik ketidaksesuain konsep diri via sosmed. Saat banyak akun merepresentasi konflik kepribadian berbeda, efek seperti kekecewaan, rendah diri, atau rasa bersalah terakumulasi dalam satu individu.

Preposisi ini saya tarik dari kemungkinan variabel magnitude dan accessibility yang mempengaruhi efek psikologis yang dapat muncul. Magnitude berarti komposisi jumlah/kuantitas paparan pada entitas yang menyulut ketidaksesuaian konsep diri. Sedang accessibility terkait akses langsung dan cepat dari paparan.

Sosmed akan memaparkan kita dengan banjir informasi tentang gambaran individu, masyarakat dan dunia. Akses ke dalam sosmed pun 24/7 tidak pernah putus. Ditambah pola konsumsi informasi dunia digital yang dapat menimbulkan kecanduan. Sehingga, kemungkinan efek negatif psikologis akan lebih signifikan atau bahkan kompleks.

Untuk Saat Ini

Kutipan dari Oscar Wilde, seorang free thinker abad 19 sengaja saya taruh diatas. Karena dengan alasan, Wilde telah memberikan secuplik gambaran sosial di masa lalu. Dan seolah gambaran ini tetap aktual saat ini. Bahkan menurut saya pribadi, sudah teramplifikasi dan terotomatisasi.

Kita tak lain adalah hasil dari bentukan orangtua kita, tempat kita belajar, nasionalisme, ideologi, sampai dogma agama. Mindset kita sempit. Karena khasanah pengetahuan dan pengalaman yang kita tahu sesempit mindset orang yang menggagasnya.

Sosial media menjadi wadah euforis, egaliter, sekaligus inklandestin konsep diri kita menurut Higgins. Tidak ada batasan agama, negara, bahkan ideologi dalam menyalurkan aspirasi, emosi, bahkan sifat tergelap kita di sosmed. Semua orang bisa, hanya batasannya mereka mau atau tidak.

Menjadi orang lain selalu menjadi keinginan waktu kecil saat melihat gagahnya Superman. Idealisme diri kita dibentuk, ditempa, dan kadang dipaksakan menjadi diri kita sebenarnya, seharusnya, dan sesuai mimpi kita waktu kecil dulu. Kini, sosmed mampu memfasilitasi kebenaran, keharusan, dan mimpi diri kita. Walau dengan konsekuensi psikologis yang akan kita tanggung sendiri dampak negatifnya.

Baca juga artikel saya: Memahami Identitas Kita di Sosmed

Salam,

Solo, o2 Desember 2018

11:24 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun