Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korelasi "Discrepancy Theory" dan Konsep Diri di Media Sosial

2 Desember 2018   23:25 Diperbarui: 3 Desember 2018   04:22 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personality - Ilustrasi: discoversociology.co.uk


"Most people are other people. Their thoughts are someone else's opinions, their lives a mimicry, their passions a quotation." - Oscar Wilde

Sosial media memfasilitasi kita ingin menjadi siapapun (dan apapun) di dunia digital. Dari seorang anak SD yang membuat akun berfoto profile orang tua di Facebook. Sampai seorang lelaki heteroseksual yang menjadi sebuah akun homoseksual di Twitter. Bukan tidak mungkin dan bisa saja terjadi saat ini.

Sosmed bukan saja menjadi representasi pribadi, personal branding, atau media komunikasi. Dibalik kemudahan membuat akun, akses yang begitu personal, netiquette yang rendah, atau dorongan finansial/politik. Sebuah akun sosmed kadang dipandang bukan lagi merepresentasi kita di IRL (in-real-life). 

Menurut Tory Higgins, seorang periset di Columbia University mengatakan kita setidaknya memiliki 3 jenis konsep diri. Dalam risetnya di tahun 1987, Higgins menggariskan 3 konsep diri manusia.

  1. Actual self atau diri kita sebenar-benarnya. Sebuah konsep yang memandang diri sebagai individu apa adanya.
  2. Ought self atau diri kita yang diinginkan atau seharusnya. Konsep diri yang memandang diri kita sebaiknya bukan diri kita saat ini.
  3. Ideal self atau diri kita yang ideal atau sempurna. Diri kita dikonsepsi menjadi individu sesuai mimpi dan keinginan yang indah.

Ke tiga konsep ini membentuk sebuah Discrepancy Theory (Teori Ketidaksesuaian). Dari masing-masing konsep diri, terjadi konflik antara diri (self) orang lain (others). Sehingga muncul 4 jenis ketidaksesuaian konsep diri dari persinggungan ini, yaitu:

  1. Actual self vs ideal self. Diri sendiri sebenarnya vs diri sendiri yang ideal. Ketidaksesuaian terjadi pada konsep diri apa adanya dan ideal atau diimpikan. Saat konsep ini hanya keinginan belaka, maka orang tersebut akan rentan pada rasa kekecewaan dan frustasi.  
  2. Actual self vs ideal others. Diri sendiri sebenarnya vs ideal menurut orang lain. Ketimpangan ini membandingkan diri dengan aspek ideal diri yang diterima orang lain/masyarakat. Sehingga, muncul dampak psikologis seperti rasa penyesalan dan rendah diri. 
  3. Actual self vs ought others. Diri sendiri sebenarnya vs diri sendiri yang seharusnya menurut orang lain. Hal ini menunjukkan jurang antara diri sendiri sebenarnya dengan apa yang diharapkan orang lain/masyarakat. Dampaknya, orang tersebut mengalami kecemasan dan kemarahan.
  4. Actual self vs ought own. Diri sendiri sebenarnya vs diri sendiri yang seharusnya. Ketidaksesuaian ini menggambarkan diri sebenarnya yang tak bisa menjadi pribadi yang diinginkan. Sehingga, secara psikologi muncul rasa bersalah dan mengutuk diri sendiri. 

Protect Yourself Online - Ilustrasi: mashable.com
Protect Yourself Online - Ilustrasi: mashable.com
Korelasinya dengan Sosial Media

Bisa kita tarik ke 3 konsep diri ini kepada ranah sosial media. Preposisi berikut masih terbatas dari pengamatan dan pemahaman saya pribadi. Riset holistik dan longitudinal tentang teori ini tentu akan lebih memperkuat apa yang saya preposisi.

Kita bisa menjadi ke 3 jenis kepribadian menurut teori ini. Dan melalui sosmed, kita bisa merepresentasi ke 3 kepribadian dengan real-time, dan lebih terselubung, dan dengan sebanyak akun yang kita ingin.

Seperti saya sebutkan diatas, kemudahan membuat akun memungkinkan hal ini terjadi. Setiap orang tentu memiliki konsep ideal, semestinya, dan sosok idaman/ideal. Dan dengan beragam informasi tentang kepribadian yang diinginkan baik dari situs atau akun/pribadi yang benar ada di dunia nyata. Mulai dari perilaku dan konten berkomunikasi via sosmed dapat ditiru.

Akun sosmed pun bisa menunjukkan 4 jenis konflik ketidaksesuaian konsep diri diatas. Dengan penggambaran konflik antar kepribadian (self/other) yang didapat dari bentuk foto profile akun, bahasa postingan, sampai preferensi friends/followers/following.

Dari ke 3 jenis konsep diri diatas yang bisa kita rekayasa. Maka dimungkinkan muncul ke 4 ketidaksesuaian konsep diri. Saat seorang dengan beragam akun, tentu akan menyadari konsep diri mana yang sedang log-in. Baik untuk sekadar bermain-main, atau berkomunikasi serius. Salah posting antar akun berkepribadian berbeda, akan merusak otentisitas akun.

Bisa saja terjadi multiple efek negatif secara psikologis dari konflik ketidaksesuain konsep diri via sosmed. Saat banyak akun merepresentasi konflik kepribadian berbeda, efek seperti kekecewaan, rendah diri, atau rasa bersalah terakumulasi dalam satu individu.

Preposisi ini saya tarik dari kemungkinan variabel magnitude dan accessibility yang mempengaruhi efek psikologis yang dapat muncul. Magnitude berarti komposisi jumlah/kuantitas paparan pada entitas yang menyulut ketidaksesuaian konsep diri. Sedang accessibility terkait akses langsung dan cepat dari paparan.

Sosmed akan memaparkan kita dengan banjir informasi tentang gambaran individu, masyarakat dan dunia. Akses ke dalam sosmed pun 24/7 tidak pernah putus. Ditambah pola konsumsi informasi dunia digital yang dapat menimbulkan kecanduan. Sehingga, kemungkinan efek negatif psikologis akan lebih signifikan atau bahkan kompleks.

Untuk Saat Ini

Kutipan dari Oscar Wilde, seorang free thinker abad 19 sengaja saya taruh diatas. Karena dengan alasan, Wilde telah memberikan secuplik gambaran sosial di masa lalu. Dan seolah gambaran ini tetap aktual saat ini. Bahkan menurut saya pribadi, sudah teramplifikasi dan terotomatisasi.

Kita tak lain adalah hasil dari bentukan orangtua kita, tempat kita belajar, nasionalisme, ideologi, sampai dogma agama. Mindset kita sempit. Karena khasanah pengetahuan dan pengalaman yang kita tahu sesempit mindset orang yang menggagasnya.

Sosial media menjadi wadah euforis, egaliter, sekaligus inklandestin konsep diri kita menurut Higgins. Tidak ada batasan agama, negara, bahkan ideologi dalam menyalurkan aspirasi, emosi, bahkan sifat tergelap kita di sosmed. Semua orang bisa, hanya batasannya mereka mau atau tidak.

Menjadi orang lain selalu menjadi keinginan waktu kecil saat melihat gagahnya Superman. Idealisme diri kita dibentuk, ditempa, dan kadang dipaksakan menjadi diri kita sebenarnya, seharusnya, dan sesuai mimpi kita waktu kecil dulu. Kini, sosmed mampu memfasilitasi kebenaran, keharusan, dan mimpi diri kita. Walau dengan konsekuensi psikologis yang akan kita tanggung sendiri dampak negatifnya.

Baca juga artikel saya: Memahami Identitas Kita di Sosmed

Salam,

Solo, o2 Desember 2018

11:24 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun