Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hal yang Harus Diketahui Orangtua Soal Sharenting

7 Februari 2016   23:48 Diperbarui: 27 Mei 2019   11:08 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Share Baby Photo - ilustrasi: beckermanpr.com

Sudah beberapa kali notifikasi Facebook terlihat di HP seorang ibu. Duh, betapa senang hati si ibu. Foto anaknya yang baru saja bisa jalan mendapat hampir 50 like. Foto itu baru saja diunggah pagi tadi. Komentar dari beberapa orang teman pun terlihat. 

Ah, nanti saja membalas komentar kalau sudah banyak fikir si ibu. Besok-besok foto dan video anaknya yang bisa jalan akan ibu ini unggah lagi di Facebook. Betapa senang nanti juga nantinya hati si ibu.

Pernahkah ilustrasi diatas Anda lihat atau alami sendiri? Seperti sudah menjadi insting orangtua, bahwa anaknya adalah anak terhebat. Ia akan tumbuh menjadi seorang yang hebat. Dan orang harus tahu hal ini. 

Dengan media sosial serupa Facebook, Twitter, Instagram, Path, dll, berbagi kegembiraan tidak ada salahnya dengan meng-upload foto anak-anak kita. Atau, dengan berbagi cerita melalui Blogspot, Wordpress, dsb soal sulitnya anak kita berhenti mengompol. Menjadi cara berbagi kehidupan dan cerita seorang anak, secara online.

Satu atau dua kali berbagi foto atau cerita tentang ‘nakalnya’ anak kita mungkin masih wajar. Bagaimana jika berbagi seperti ini menjadi sebuah adiksi. Maka bisa saja Anda terjangkit sindrom sharenting

Sharenting secara harfiah adalah blending dari kata share dan parenting. Sebuah istilah urban untuk orangtua yang terlalu berlebih berbagi semua hal tentang anak mereka secara online.

Sisi Negatif Sharenting

Tentunya hal pertama yang terlihat dari (over)sharenting adalah privasi anak kita yang dilanggar. Pernahkah Anda membayangkan ketika anak Anda dewasa dan melihat album fotonya di Facebook yang begitu banyak? Untuk saat ini foto-foto ini menjadi momen terindah yang dibagi. 

Bagaimana dengan di masa depan? Atau lebih mengkhawatirkan, anak Anda nanti akan di-bully. Karena teman-teman sekolahnya tahu foto saat anak mengompol diantara ratusan foto dalam album Facebook Anda.

Figur 1. Polling C.S Mott Children's Hospital on Children's Health: 2015
Figur 1. Polling C.S Mott Children's Hospital on Children's Health: 2015
Sebuah riset dari AVG mengungkap bahwa lebih dari sepertiga anak di Inggris mendapatkan foto mereka diunggah di sosmed oleh orangtua mereka. Rata-rata anak sudah memiliki digital footprint bahkan sebelum gigi mereka tumbuh. Peran ayah dan ibu pun terbukti sama dalam sharenting di internet

Riset Brandwatch menyimpulkan bahwa 43% posting sharenting di sosmed dilakukan oleh si ayah. Lebih mengejutkan, hasil survey dari 2,000 pengguna sosmed yang dilakukan The Parent Zone menemukan bahwa rata-rata orangtua akan mem-post 1,000 foto anak mereka sebelum anak berusia 5 tahun.

Dampak lain yang lebih berbahaya pun bisa terjadi. Seperti kasus foto anak Ruben Onsu yang sudah terjadi. Foto-foto anaknya dari Instagram disalahgunakan oknum tidak bertanggungjawab. Foto anaknya menjadi iklan bayi yang diperjual-belikan online. 

Jangan-jangan foto-foto anak Anda juga diambil oknum seperti ini. Lalu dipajang di situs atau sosmed miliknya untuk menjadi iklan human-trafficking. Karena saat foto saat mengunggah online, maka foto atau video akan menjadi milik siapa saja. Akan lebih parah saat menjadi foto atau video menjadi viral.

Sisi Positif Sharenting

Tentu tidak selamanya berbagi itu buruk. Ada kalanya berbagi menjadi hal yang dibutuhkan baik anak maupun orangtua. Berbagi cerita tentang anak yang mengalami autisme di blog tentunya akan merangkul lebih banyak audiens untuk berbagi. Berbagi dengan orangtua dengan anak yang mengalami keterbatasan yang sama juga bisa dilakukan dengan hal ini. 

Berbagi tips, saran atau saling menguatkan tentu menjadi pelipur tersendiri dengan berbagi secara online. Atau mengundang simpati dan donasi mungkin juga bisa didapat. Walau tidak secara vulgar meminta donasi, masih ada tentunya orang yang mau mengulurkan tangannnya membantu secara materiil.

Saat orangtua menjadi semakin terisolasi, sosial media bisa mendatangkan rasa kebersamaan. Cepat dan instannya informasi tersebar di dunia maya, menjadikan orangtua selalu bisa berbagi 24 jam. Baik soal anaknya yang mengalami demam, atau membahas hari pertama anak masuk sekolah. 

Selalu ada saran dan cerita yang dirasa bermanfaat orangtua dari internet. Sesama orangtua serasa memiliki tugas yang sama. Walau secara fisik tidak pernah bersua, namun secara daring sudah bisa saling melengkapi.

 Walau informasi di dunia maya cepat berubah dan berlimpah, konsultasi untuk masalah krusial seperti kesehatan haruslah tetap hati-hati. Karena pola parenting setiap orangtua tentunya berbeda. Karena anak memang individu unik. Obat demam tertentu untuk satu anak, mungkin tidak cocok dengan anak yang lain. 

Pola asuh anak seorang psikolog tentu akan berbeda dengan pola asuh orangtua yang hanya lulusan SMP. Pada dasarnya, sharenting positif tetap akan menjadi dasar referensi untuk mencari informasi yang lebih valid.

Kurangi Sisi Narsistik, Demi Anak

Sosial media memang menjadi media narsistik orangtua. Siapa yang tidak bangga anaknya bisa berhitung. Lalu di-videokan untuk diunggah di Youtube. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Mengekalkan momentum indah seperti ini memang wajar adanya. Namun jika video ini nanti disalah gunakan oknum tidak bertanggung jawab?

Find Us on Facebook - ilustrasi: psychcentral.com
Find Us on Facebook - ilustrasi: psychcentral.com
Bijaklah berbagi semua tentang anak. Biarkan apa yang dirasa indah dengan orangtua dirasakan bersama. Mengabadikannya pun sewajarnya saja. Foto anak sedari kecil dicetak dan ditaruh di album keluarga akan lebih kekal memorinya. 

Betapa lucu saat anak memakai baju hadiah dari nenek-kakeknya waktu ulang tahu pertama. Memori yang dinikmati saat anak sudah beranjak besar. Dan betapa kasih sayang itu penuh untuk keluarga.

Angharad Rudkin, seorang psikolog keluarga menyatakan: 

“Saat ini banyak orangtua tidak bisa menikmati momen indah bersama anaknya. Mereka harus mengalaminya lebih dalam dengan mem-post-nya di Facebook. Jika Anda tidak bisa menikmati momen spesial bersama anak karena harus mengunggah foto diri Anda sendiri bersenang-senang, saatnya merefleksi diri. Pesan apa kiranya nanti anak kita fahami. Jika kebersamaan dengan anak saja tidak cukup indah? Haruskan posting itu menjadi pembuktiannya?”

Referensi: telegraph.co.uk | theguardian.com

Salam,

Solo, 07 Februari 2016

11:49 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun