Suasana di mobil tidak pernah seramai ini. Radean biasanya hanya akan menghabiskan waktu sendirian di tengah macetnya ibu kota sambil mendengarkan radio untuk mengisi kekosongan. Yang paling sering didengarnya adalah musik yang diputar secara acak. Sisanya hanya sekadar curhatan orang tidak penting, ramalan cuaca, atau kondisi arus lalu lintas.
Anak perempuan di bangku belakang tak henti-hentinya mengajak dia ngobrol. Siaran di radio kala itu bukan lagi fokus utamanya. Celoteh sederhana dari seorang anak TK yang masih mengenakan seragamnya lebih menarik perhatian. Sambil menatap anak itu sesekali, Radean tak berhenti tersenyum meski siang tadi ia dimarahi oleh kliennya.
"Thanks ya, De, mau jemput Sasa. Mama aku mendadak harus ke Surabaya sama Papa."
"Vidya, harusnya aku yang bilang makasih karena akhirnya aku bisa ketemu sama si cantik ini. Kita kan udah lama nggak ketemu. Iya, nggak?" tanya Radean pada anak kecil berambut ikal itu.
"Iya, Om. Pokoknya nanti kalau udah sampe, Om main dulu ya sama Sasa."
"Kasian dong nanti Omnya capek, sayang," kata ibunya membujuk.
"Biarin, sekali-kali doang," jawab Radean santai.
Setengah jam perjalanan tidak terasa bagi mereka hingga mobil yang dibawa Radean sudah terparkir di basement apartemen. Vidya, rekan kerjanya ini memang tinggal di apartemen bersama anak semata wayangnya, Sasa. Jangan tanya soal suaminya, karena orang yang bersangkutan sudah meninggal dua tahun lalu tepat saat Radean baru diterima di perusahaan tempat mereka kerja.
Hubungan mereka pun hanya sebatas rekan kerja. Hanya saja, karena jarak rumahnya dan apartemen Vidya searah, perempuan itu sesekali menumpang di mobilnya. Bahkan jika dibutuhkan seperti hari ini, Radean bersedia memutar arah terlebih dahulu demi menjemput Sasa di penitipan anak.
"Mau minum apa, De?" tanya Vidya setelah membuka pintu apartemennya.
"Teh anget, gulanya satu sendok makan." Yang menjawab justru bukan orang yang ditanya, tapi Sasa dengan wajah polosnya.