Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature

Menulis karena dunia terlalu serius untuk ditanggapi tanpa satire dan terlalu getir untuk ditinggal diam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Antara Dua Keheningan

26 Juni 2025   20:22 Diperbarui: 26 Juni 2025   20:34 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Bayang di Antara Dua Maghrib

Ia duduk sendiri di ruang yang belum sepenuhnya gelap. Maghrib baru saja pergi, tapi tak benar-benar hilang. Di dinding, bayangannya berlipat dua. Seperti waktu yang belum memilih: maju atau kembali.

Ada desir angin dari jendela setengah terbuka, mengangkat ujung sajadah tanpa suara. Di sana, ia merasa tubuhnya hadir tapi tak menjejak. Doa-doa yang ia baca pelan, setengah hafal, setengah ragu: berlayar seperti kapal kecil di telaga yang terlalu tenang.

Apa yang berubah dari hari ini? Hanya angka? Hanya tanggal? Atau mungkin ada sesuatu yang bergeser diam-diam di dalam, seperti luka yang memilih sembuh tanpa ia sadari?

Ia tak tahu.

Tapi dalam sepi itulah, ia belajar mendengar detak paling lirih dari hidup: detak yang tak dicatat kalender, tapi tumbuh di antara dua maghrib, seperti akar yang bergerak dalam gelap.

2. Langit yang Belum Turun Sepenuhnya

Ia berdiri lama di beranda rumah. Di atas sana, langit masih menggantung, belum benar-benar turun, seperti tirai yang enggan ditutup. Malam satu Muharram datang pelan-pelan, membawa hawa yang tidak dingin, tapi juga bukan hangat.

Dari kejauhan, azan sayup menyentuh ujung genting. Tapi yang lebih keras justru diamnya langit. Seolah malam ini bukan tentang merayakan, melainkan mendengarkan. Dan yang harus didengar bukan suara, melainkan jeda.

Baca Juga: Garis Air di Cermin

Ia merasa ada yang sedang memandangnya dari balik langit itu. Bukan Tuhan. Mungkin hanya dirinya sendiri, yang lama tak ia kenali, tapi tiba-tiba muncul seperti bintik cahaya di balik awan.

Malam ini, ia tidak meminta apa-apa. Hanya berdiri. Hanya diam.

Dan di diam itulah, mungkin, doa tumbuh. Bukan dari mulut, tapi dari sesuatu yang lebih tua dari kata: pasrah yang tak bernama.

3. Langkah Pertama yang Tak Berbunyi

Sore tadi, langit belum sempurna gelap. Udara terasa ringan, seperti halaman pertama dari buku yang belum dibaca. Seorang anak berjalan melewati gang sempit menuju mushala kecil. Sandalnya tak bersuara. Langkahnya pun tak meminta dikenali.

Di sakunya ada lembaran doa yang belum sepenuhnya ia pahami. Tapi ia menggenggamnya erat, seperti memegang sesuatu yang lebih besar dari arti.

Di mushala itu, ia duduk di saf paling belakang. Wajahnya menghadap kiblat, tapi hatinya seperti menoleh ke masa lalu yang tak ia miliki. Ia tidak tahu apa arti tahun baru. Tapi ia merasa malam ini ada yang berubah: meski tak terlihat, meski tak terdengar.

Langkah pertamanya tidak meninggalkan bekas. Tapi dunia tahu. Dan langit tahu. Bahwa kadang, permulaan sejati adalah saat seseorang memilih diam, lalu berjalan, meski hanya satu langkah, yang nyaris tak berbunyi.

Baca Juga: Tiba-Tiba Jalan itu Tidak Lagi Menuju Rumah

1 Muharram, 1447 H

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun