Mohon tunggu...
Gilang Rahmawati
Gilang Rahmawati Mohon Tunggu... Sehari-hari menjadi kuli tinta.

*** silahkan tinggalkan pesan *** ** http://www.kompasiana.com/the.lion ** #GeeR

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Semut Hitam, Pengemis, dan Sekotak Nasi

30 Agustus 2012   00:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


"tretete..te..dung-dung"

Senandung yang mencoba mengikuti irama music, keluar dari mulut seekor semut hitam. Semut yang berjalan pelan, menyusuri hamparan pasir. Ini bukan gurun, hanya saja ini jalan yang belum di aspal. Semut ini tinggal bersama kerumunannya di sekitar tepi jalan di kota. Bising kendaraan menjadi alarm pertama untuk gerombolan semut ini bekerja.

"tratat titaa.."

Masih melanjutkan senandung, sambil membawa sebuah karung. Bagi mereka karung ini tampak, tapi bagi penghuni kota tak ada yang bisa melihat genggaman karung tersebut. Ntah karena alasan apa, Semut terlihat sumringah pagi ini. Ia berani berjalan sendiri, tanpa mengikuti gerombolan. Padahal, disekitarnya penuh dengan ancaman manusia.

"Hei kucril, mana teman-temanmu? Seharusnya kamu pergi dengan mereka kan?," sapa seekor semut merah yang tak sengaja lewat disampingnya.

"Haha, iya..tadi aku berpisah, sengaja buat cari makan sendiri, kenapa?" jawab semut hitam.

"Ah gak papa" ucap semut merah.

Mereka pun berselisih, tanpa melanjutkan percakapan. Kaki kecilnya menelusuri lagi perjalanan bersama debu-debu jalanan. Semut hitam sebenarnya agak ragu, dengan sikap sok bisanya ini. Karena, dia tahu situasi diluar terlalu banyak resiko. Tapi, ntah kenapa, rasa sok ini dibarengi oleh rasa penasaran. Semut melawan deru angin kencang, tumpukan pasir beterbangan.

****

Disaat ia yang kecil sedang berjuang mencari makanan, disaat itu juga si miskin bangkit dari tidur nyenyaknya. Di kuceknya mata, yang sudah lengket oleh sisa-sisa kantuk. Merenggangkan tubuh, melihat keadaan rumah. Tampak sepi, ya sebab ia tinggal sendiri. Si miskin ini mempunyai julukan "Pengemis", ia hidup meminta belas kasihan. Tinggal hanya beralaskan kardus, dan spanduk yang dijadikan penghangat ruang istirahatnya. Menahan angin yang masuk dikala malam, menahan debu-debu jalan yang beterbangan. Seharusnya pagi ini, ia bisa menyapa sang istri. Sayangnya, karena alasan kemiskinanlah yang membuat ia tinggal sendiri.

"Ah, hari ini mencari rejeki ditempat yang berbeda saja, siapa tahu bisa dapat banyak," gumamnya sembari merapihkan tempat istirhat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun