Namun, CEO PSIS Semarang, Yoyok Sukawi, punya jalan tengah dalam mengadapi situasi ini. Menurutnya, keputusan penyesuaian gaji sebesar 25 persen itu demi melindungi para pemain sendiri.
"Supaya tidak terjadi pemutusan kontrak secara masif di Liga Indonesia. Karena statusnya Liga 1 masih pending. Jadi belum dihentikan. Jangan sampai klub sama sekali tak berikan gaji," katanya. Seperti dinukil Skor Indonesia.
Meski begitu, akan ada kompensasi 75 persen sisa gaji pada periode terhentinya kompetisi. Tentu dengan catatan kompetisi musim ini bisa berjalan kembali, pria yang juga menjabat Komite Eksekutif (Exco) PSSI ini juga menegaskan bahwa rincian gaji 25 persen itu disesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR) serta mengacu pada UU Ketenagakerjaan yang juga berlaku di industri olahraga, khususnya sepak bola.
"Misal gaji pemain 5 juta, dipotong 25 persen berarti tinggal 1.25 juta. Jika itu dilakukan, maka klub sudah melanggar undang-undang [ketenagakerjaan]. Minimal gaji yang diberikan adalah Upah Minimum Regional [UMR]. Tidak mungkin dipotong hingga tinggal sejuta, pasti UMR," demikian kata Yoyok.
Pentingnya Kesadaran Kolektif Antara Pihak Klub dan Pemain
Pro dan kontra penyesuaian upah pemain ini tidak menjadi isu serius jika dibarengi dengan kesepakatan bersama. Meski pemain punya porsi yang kuat untuk melakukan kemungkinan terburuk, yakni pemutusan kontrak secara sepihak disebabkan oleh keberatan penyesuaian gaji.Â
Agaknya mereka mesti berpikir seribu kali. Sebab dalam kondisi force majeur seperti ini semua sektor industri olahraga benar-benar mati.
Tidak ada pemasukan tiket, hak siar, iklan, sponsorship atau komersil lainnya untuk menopang finansial klub. Artinya, tanpa pendapatan tersebut aliran dana ke kas klub untuk operasional klub pun ikut tersendat, termasuk soal kucuran dana untuk menggaji para pemain.
Perlu kesadaran kolektif antara pihak klub dan pemain, bukan hanya pemain saja yang sadar jika kondisi yang melilit klub itu memang force majeur atau darurat.
Melihat dari kebijakan klub-klub Eropa, pemain disertakan dalam pengambilan keputusan atau minimal ada yang bisa mewakili pemain dalam diskusi mencari solusi terbaik.
Bukan berarti hanya karena dilindungi undang-undang atau aturan otoritas setempat, klub bisa semena-mena memotong hak pemain dengan mencekik habis-habisan tanpa pertimbangan yang melibatkan kedua belah pihak.
Apa yang disepakati Juventus, Barcelona, Atletico, dan kasus lainnya yang ditulis di atas, bukan tanpa diskusi yang panjang dan menyita waktu sehingga mengundang pro-kontra tersendiri.