Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Menakar Nasib Olimpiade Tokyo 2020 di Tengah Pandemi Corona

20 Maret 2020   21:28 Diperbarui: 22 Maret 2020   02:32 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Shutterstock via KOMPAS.com

Penyebaran pandemi Corona yang kian masif di pelbagai belahan dunia cukup mengganggu beberapa event olahraga internasional seperti Piala Eropa 2020, Copa America, Formula One Grand Prix China, kejuaraan tenis ATP Challenger Tour 2020, beberapa kejuaraan bulu tangkis seperti Jerman Terbuka, Vietnam Terbuka, serta Polandia Terbuka resmi ditangguhkan bahkan beberapa terancam dibatalkan.

Meski begitu, Internasional Olympic Committee (IOC) masih belum juga mengambil sikap terkait nasib Olimpiade Tokyo 2020 yang rencananya digelar pada 24 Juli-8 Agustus 2020. 

Padahal, jadwal event olahraga empat tahunan itu kian dekat -- bisa dihitung sekitar 125 hari lagi -- disatu sisi Tokyo makin matang menyiapkan venue, pun dengan para peserta yang atletnya telah menggelar pelatihan jauh-jauh hari. 

Namun disisi lain, COVID-19 belum juga mereda. Sebuah risiko besar jika kemudian Olimpiade Tokyo keukeuh dihelat sesuai jadwal.

Kerugian Jika Olimpiade 2020 Dibatalkan
Melihat perkembangan COVID-19 yang kian merebak ke berbagai penjuru dunia. Agaknya membuat banyak pihak meragukan Olimpiade Musim Panas 2020 ini bisa berjalan sesuai rencana. Namun, sang tuan rumah tentu tak ingin hal tersebut terjadi.

Sebab dari pihak tuan rumah sendiri, mereka telah berinvestasi membangun sembilan venue baru untuk Olimpiade 2020 ini. 

Salah satunya pembangunan National New Stadium yang merogoh kocek lebih dari Rp. 19,8 triliun. Selain itu, tak mudah juga bagi Jepang untuk memenangkan bidding olimpiade 2020 ini.

Tak hanya tuan rumah yang meradang, sekitar 11 ribu atlet olimpiade dan sekitar 4.400 atlet paralimpiade, pelatih, pejabat negara, dan lainnya mengalami kekecewaan yang sama. 

Mengingat mereka telah berlatih dan tentunya pemerintah negara telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk operasional pelatihan itu.

Belum lagi, hotel-hotel yang kadung menerima uang muka dari para tamu yang hendak datang ke Tokyo, maskapai penerbangan, pihak asuransi, sponsorship, dan lain sebagainya. 

Agaknya berangkat dari pertimbangan banyak hal itulah yang kemudian membuat IOC merasa sedikit berat menjalankan salah satu isi kontrak kota tuan rumah yang ditandatangani oleh Gubernur Tokyo dan komite olimpiade Jepang pada 2013 silam.

Dalam pembukaan kontrak disebutkan bahwa "Olimpiade secara eksklusif adalah milik IOC yang memiliki semua hak......untuk organisasi, pementasan, eksploitasi, penyiaran, rekaman, representasi, reproduksi....diseluruh dunia selamanya."

Dalam kontrak tersebut ditegaskan bahwa IOC dapat mengakhiri dan menarik diri dari kota yang telah disetujui jika terjadi force majeur: kekacauan sipil, keadaan perang, bencana, boikot, atau alasan lain yang masuk akal dari IOC itu sendiri seperti kebijakan yang mengatur terkait keselamatan para peserta dalam permainan yang terancam bahaya serius dengan alasan apapun.

Seorang ahli penyakit menular dari Jepang, Kazuhiro Tateda, mengatakan sulit untuk menghilangkan Corona dalam waktu singkat. Butuh waktu panjang untuk memastikan penyebaran COVID-19 berhenti secara total.

"Virus ini tidak seperti flu yang menghilang dalam cuaca yang lebih hangat. Respons terhadap virus corona baru saya pikir akan berlanjut selama setengah tahun atau satu tahun," kata Tateda. Seperti dinukil dari CNN.

Sedangkan menurut Dr. Ahli Khan, seorang ahli epidemiologi dari University of Nebraska, menyatakan jika kegiatan yang mengundang dan mengumpulkan masa banyak seperti Olimpiade menjadi cara yang sangat mudah untuk menyebarkan penyakit ke seluruh dunia. Tidak melulu Corona, melainkan juga penyakit lainnya.

Sementara itu, dikutip dari AS, Jepang diprediksi bakal menelan kerugian sebesar 200 triliun jika olimpiade gagal dihelat. Bahkan, Dewan Audit Nasional Jepang menyebut negaranya telah menghabiskan dua kali lipat yang disebut oleh AS.

IOC Tak Ingin Mengambil Keputusan Spekulatif

Kerugian dan dampak yang akan dihadapi oleh dibatalkannya Olimpiade 2020 agaknya menjadi pertimbangan serius Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Thomas Bach.

Menurut pria berpaspor Jerman itu, IOC merasa tak perlu memasukkan opsi batal/penundaan untuk Olimpiade XXXII/2020 di Tokyo, Jepang. Sebab pilihan tersebut merupakan sesuatu langkah yang tidak bertanggung jawab untuk saat ini.

Dirinya pun menegaskan masih sangat dini untuk mengambil keputusan final mengingat masih ada waktu sekitar 4,5 bulan ke depan untuk menimang skenario alternatif.

“Tentu kami mempertimbangkan skenario-skenario alternatif, namun masih ada waktu 4,5 bulan,” ujar Bach. Seperti dinukil dari Skor Indonesia. 

“Karena itu, menangguhkan (Olimpiade) akan menjadi keputusan yang tidak bertanggung jawab untuk saat ini,” tambahnya.

Ia keukeuh akan tetap menunggu perkembangan penyebaran pandemi Corona diberbagai negara khususnya Jepang. Menurutnya tidak ada yang mampu menggaransi apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.

“Apa yang membuat krisis ini sangat sulit diatasi adalah karena ketidakpastiannya. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang terjadi esok hari, minggu depan, atau bulan depan,” Bach menambahkan lagi.

Bach tak ingin membuat keputusan spekulatif. Ia bersama kerabat kerja di IOC sangat berhati-hati dan tak ingin gegabah mengambil keputusan.

“Oleh karena itu, sekali lagi, akan menjadi tindakan yang gegabah untuk mengambil keputusan sekarang yang hanya berbasis spekulasi,” pungkas pria 66 tahun ini.

Siklus dan Kutukan
Andai kemungkinan terburuk itu terjadi, Olimpiade Tokyo 2020 batal digelar, menjadi sebuah misteri tersendiri mengacu pada bukti empiris yang telah terjadi dimasa lalu. 

Konon Olimpiade sendiri memiliki siklus kutukan 40 tahunan. Bahwa dalam kurun waktu itu olimpiade bakal gagal digelar. Hal demikian juga disampaikan menteri keuangan Jepang, Taro Aso.

"Ini masalah yang terjadi setiap 40 tahun, ini kutukan Olimpiade, itu faktanya," kata Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso dikutip dari Antara News.

Dalam sejarahnya, Olimpiade Tokyo 1940 batal digelar akibat perang dunia kedua. 40 tahun berselang, tahun 1980, Olimpiade yang sedianya digelar di Kota Moskow juga batal digelar akibat alasan yang berbeda, yakni boikot. 

Dan kini, tahun 2020 Olimpiade Tokyo juga terancam gagal dihelat akibat virus Corona. Jika menghitung siklus, maka tahun inilah kutukan tersebut bisa kembali muncul.

Bahkan berbicara lebih jauh terkait Corona sendiri, penyebaran wabah atau disebut pandemik memiliki pola yang berulang tak ubahnya kutukan 40 tahunan Olimpiade. Bedanya dalam siklus wabah, siklus ini datang per 100 tahun sekali.

Seperti 400 tahun silam terjadi wabah Marseille atau disebut juga The Great Plague of Marseille pada tahun 1720, pandemi kolera tahun 1820, flu Spanyol 1920, hingga Corona 2020 ini.

Opsi dan Konsekuensi
Adapun penulis akan berupaya menyambung benang merah dari data yang telah diuraikan di atas. Secara teori IOC atau Komite Olimpiade Internasional mempunyai wewenang untuk membatalkan atau memindahkan kota tuan rumah.

Mengapa tidak ada opsi ditunda? Sebab akan sangat sulit memasukan jadwal baru ke dalam kalender olahraga yang sangat padat.

Jika bicara dua opsi yang telah tersedia memang cukup memberatkan bagi Jepang sendiri sebagai tuan rumah.

Seperti yang telah dinarasikan oleh data-data diatas, persiapan matang Jepang bisa berimbas pada kerugian yang besar. Namun sekali lagi, isu yang dihadapi Jepang memang tidaklah lebih ringan.

Pada dasarnya pihak manapun tidak akan mampu berkomromi dengan wabah. Opsi terbaik dari dua pilihan sebelumnya adalah menunggu sampai wabah mereda setidaknya sampai Mei.

Demikianlah manuver yang saat ini dipilih oleh IOC. Namun seperti yang dikatakan Tateda, ahli penyakit menular dari Jepang, butuh waktu panjang untuk memutus penyebaran virus yang berasal dari Wuhan ini. Indikasi batal justru lebih banyak terpaparkan disini.

Apalagi jika kita melihat siklus atau kutukan 40 tahunan Olimpiade yang menjadi bukti empiris yang kuat. 

Tanpa harus menunggu keputusan IOC, demi tanggung jawab pada sesama (menghentikan penyebaran COVID-19) rasa-rasanya kita dapat menarik sebuah solusi kolektif dan membangun kesadaran secara kolektif pula bahwa nasib Olimpiade Tokyo 2020 berada dititik nadir. 

Tidak ada yang lebih penting dari isu kemanusiaan. Toh pihak IOC saja masih enggan memberikan keputusan signifikan. Dalam arti mereka masih sekadar menunggu dan berharap Pandemi Corona teratasi.

Namun, ada satu kasus yang relevan dengan kejadian hari ini, hal ini bagus untuk disampaikan demi memelihara sedikit nasib dan harapan baik tentang Olimpiade Tokyo 2020.

Kita bisa memanggil kembali ingatan jelang Olimpiade yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, 2016 silam. Virus Zika mengancam keberlangsungan event ini, tetapi beberapa waktu jelang perhelatan, virus tersebut justru mereda dan mempersilakan Olimpiade 2016 digelar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun