Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Perses Sumedang, Tim Legendaris yang Jalan di Tempat

17 Oktober 2017   10:52 Diperbarui: 17 Oktober 2017   11:10 5226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepakbola Sumedang tidak pernah terdengar gaungnya di kasta tertinggi sepakbola nasional, seakan mereka tertidur lelap selama ini. Tim delegasi yang menamakan dirinya Perses Sumedang sejauh ini hanya berkutat di divisi bawah nasional. Terkadang, mereka tidak bisa mengikuti kompetisi hanya karena fasilitas dan keuangan yang tidak memadai. Namun, musim 2017 warga Sumedang memiliki harapan baru ketika manajer Perses Agus Muslim berkomitmen akan mengikuti kompetisi bernama Super Jalapa Liga 3 zona Jawa Barat. Seruan sepakbola Sumedang bangkit pun menggema dari ujung Jatinangor, Cadas Pangeran, sampai bendungan Jatigede.

Perses bergabung di Grup B dengan venue pertandingan yang dilakukan di Stadion Merdeka/Cibuluh bersama Persigar Garut, Persikotas Tasikmalaya, Mandala FC Majalengka, Putra Jaya FC, dan Persitas Kabupaten Tasikmalaya. Namun, harapan yang awalnya melambung tinggi itu pun musnah begitu saja setelah tabel klasemen akhir Grup B dirilis panitia pelaksana. Perses tertahan di posisi buncit dengan dua poin dalam tujuh laga yang dijalani. Seri dua kali dan sisanya menelan kekalahan beruntun.

***

Dalam sejarahnya, Persatuan Sepakbola Seluruh Sumedang atau disingkat PERSES merupakan salah satu klub legendaris di Jawa Barat. Asumsi tersebut mengacu pada tahun lahir klub kebanggaan masyarakat Kabupaten Sumedang ini, 30 Januari 1950. Perserikatan/persatuan sepakbola ini dibentuk antara lain oleh Djajusman, Sardjinan, dan Nawawi.

10 tahun kemudian sejak didirikan (tahun 1960), Perses tercatat sebagai salah satu dari 19 Perserikatan anggota PSSI Jawa Barat. Berdasarkan data yang tersedia di buku HUT ke-30 PSSI (1930-1960). Pada masa itu, wilayah Banten, DKI Jakarta, dan Kalimantan Barat masih ada didalamnya. Tiga perserikatan Banten antara lain, Persis Serang, Persita Tangerang, dan Persira Rangkasbitung. Sedangkan dari DKI Jakarta ada Persija Jakarta dan dari Kalimantan Barat klub dengan nama PSP Pontianak.

Sejauh ini belum ada prestasi yang bisa membuat warga Sumedang membusungkan dada. Runner up Piala Komda Jabar tahun 1991, runner up divisi II Liga Indonesia tahun 1996 di Jawa Barat, dan Juara divisi II Liga Indonesia tahun 1997 di Jawa Barat (dan peringkat 8 besar nasional) masih dijadikan sebagai catatan prestasi terbaik yang pernah diraih Perses Sumedang.

Selalu ada beban "kami hanya klub Kabupaten" di setiap event yang diikuti, termasuk saat mengikuti kompetisi Liga 3 musim 2017. Padahal, banyak klub diluar sana yang notabene hanya memiliki wilayah yang sempit tapi bisa berkobar di pentas nasional. Contohnya PSGC Ciamis, Persita Tangerang, dan yang paling tersohor ada Persela Lamongan yang masih sanggup bertahan di kasta tertinggi sepakbola nasional.

Agaknya cap legendaris masih menjadi sebuah malapetaka bagi pengurus Perses khususnya. Beberapa waktu lalu, penulis sempat melakukan interview dengan para petinggi yang berada di kubu kepengurusan Askab PSSI Sumedang yang sejauh ini bergandengan sebagai organisasi yang menaungi. ada satu pengurus yang membuka diskusi dengan prolog: "Ya, kita itu tim legendaries yang lahir di tahun 1950-an. Kalau disejajarkan kita satu angkatan dengan Persita Tangerang, Persija Jakarta, bahkan Persib Bandung".

Tidak ganjil memang jika Ia membuka percakapan dengan hal yang lebih intim apalagi menyebut tim kebanggaan warga Sumedang sebagai tim legendaris dan mensejajarkannya dengan tim besar yang berada disekitaran Jabodetabek. Namun, ada kesan seolah mereka membusungkan dada alias bangga dengan cap legendaris saja, tanpa menjabarkan prestasi apa yang sudah mereka dapat di pentas nasional.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa kontribusi Perses Sumedang untuk sepakbola Jawa Barat dan Persib Bandung cukup bisa diperhitungkan. Banyak pemain yang pada akhirnya berkontribusi bagi Jawa Barat bahkan NKRI, yang paling kesohor adalah nama Wowo dan Jaffar Sidik. Wowo merupakan salah satu punggawa Timnas yang berkiprah di Asian Games III tahun 1958. Pemain yang sempat menggusur nama besar Ramang dari PSM Makassar itu kelak dipanggil oleh tim Maung Bandung. Sementara Jaffar Sidik merupakan salah satu pemain generasi emas Persib di tahun 1980-an.

Terlepas dari nama besar para pemain nasional tadi. Ada juga nama-nama lain yang berasal dari Sumedang dan berkibar di klub lain. Contohnya, Dedi Kusnandar, Jajang Mulyana, Eki Nurhakim, Eka Santika, Sigit Hermawan,dan lainnya. Namun, Dedi Kusnandar yang saat ini masih aktif membela Persib dan Tim Nasional kabarnya tidak pernah membela klub tanah kelahirannya.

Tempat tinggal Dado, sapaan akrab Dedi Kusnandar, yang merupakan perbatasan Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang (baca: Jatinangor) membuat nya memutuskan untuk memilih berkarir langsung ke Bandung karena memang jarak yang cenderung lebih dekat ke Kota Bandung. Jebolan eks Pelita Jaya Karawang ini belum pernah sekalipun merasakan caps bersama tim Perses Sumedang.

Disamping jarak, cerita Dado diatas cukup menggambarkan bahwa sepakbola Sumedang tidak lebih menjanjikan ketimbang Bandung. Bahkan, ada beberapa pemain potensial lain yang berani merantau ke Balikpapan dan pelbagai daerah. Eki Nurhakim pernah jadi andalan di tim Persiba Balikpapan, pemain asal Cimanggung ini tidak pernah berseragam Perses Sumedang. Pemain yang jarang kita dengar macam Eka Santika pun nyatanya berkibar di Liga 2 bersama tim daerah lain.Pun dengan Jajang Mulyana dan Sigit Hermawan yang berkibar tanpa pernah mengenakan jersey Perses Sumedang terlebih dahulu, mereka lebih memilih Persib Bandung untuk mengawali karya sepakbolanya.

Hal diatas memaksa penulis harus menarik asumsi, bahwa bayang-bayang besar Maung Bandung membuat sepakbola Sumedang lalai akan potensinya sendiri. Bagaimana putra daerah berbondong-bondong untuk mengantri masuk Persib. Bagi yang tidak memiliki kesempatan mereka malah berlarian ke tim luar pulau.

Sebuah hal yang harusnya pengurus siasati, bagaimana mengelola potensi terbaik yang dimiliki sepakbola Sumedang. Dengan cara memaksimalkan potensi yang ada setidaknya secara perlahan harkat martabat Perses Sumedang bisa terangkat. Dan disini kita belum berbicara terlalu jauh soal fasilitas. Karena pada dasarnya pemain pun pasti berpikir bagaimana trek record klub yang bersangkutan dalam memfasilitasi pemainnya.

Berbicara fasilitas, tentu kita berbicara kenyamanan pemain. Secara umum, ketika kita menyebut kata fasilitas, mata langsung tertuju pada stadion/lapangan yang menjadi homebase. Stadion Ahmad Yani merupakan salah satu stadion yang juga sama legendarisnya dengan Perses. Ada romantisme tersendiri antara Perses dan Stadion Ahmad Yani.

Stadion berukuran kecil dan dengan gaya sederhana ini menjadi rumah satu-satunya bagi Perses. Keadaan stadion ini cukup memprihatinkan. Ruang ganti dan WC yang tidak terurus, tribun yang kotor dan kumuh, serta rumput stadion yang tandus. Dari tempat duduk penonton saja stadion ini berkapasitas rendah, sekalinya ada tamu besar semacam Persita Tangerang, PSGC Ciamis, Persikotas Tasikmalaya, atau Persib Bandung tempat legendaries ini tak mampu menampung dukungan warga Sumedang. Untuk menjamu tim tamu, kantor Askab PSSI Sumedang disulap menjadi kamar ganti pemain lawan.

Di pertandingan-pertandingan biasa, penonton kian hari kian malas untuk datang ke Stadion mengingat fasilitas yang sudah berada di titik paling nadir. Bagaimana bau menyengat dari dalam kamar mandi mulai memasuki area tangga VVIP stadion dan lorong Stadion tempat dimana pemain berjalan menuju area lapangan. Ironisnya lagi stadion Ahmad Yani bukan merupakan milik Perses atau Askab PSSI Sumedang, melainkan milik yayasan.

Lantas, bagaimana Perses bisa berprestasi tanpa dukungan penonton. Jika terus seperti ini, Perses akan jalan di tempat. Unsur Stadion ini faktanya merembet ke segala hal, termasuk finansial manajemen. Dengan malasnya masyarakat datang ke stadion, secara otomatis pemasukan dari tiket penonton hilang. Dari mana pemasukan keuangan Perses dapat diambil. Disisi lain, dana dari APBD sudah di stop sejak lama. Investor hanyalah jalan satu-satunya yang mampu membawa Perses hidup layak.

Masalahnya, investor di kabupaten Sumedang masih sangat jarang apalagi yang peduli sepakbola. H.Umuh Muchtar yang notabene pengusaha sukses asal Tanjungsari-Sumedang yang masuk ke dalam kriteria diatas (baca: peduli sepakbola) pun lebih memilih mengurusi tim mapan macam Persib Bandung. Lalu siapa yang sudi membantu tim ini? Karena kami tidak ingin mengagumi tim sepakbola yang jalan di tempat terus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun