Mohon tunggu...
Gigih Prayitno
Gigih Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Masih belajar agar dapat menulis dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Dilema Perfilman Indonesia, Kreativitas yang Dibayang-bayangi Ancaman Boikot Cacat Nalar

2 Mei 2019   14:59 Diperbarui: 3 Mei 2019   03:56 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Dua Garis Biru yang dikenai petisi larangan lolos tayang | Instagram/starvisionplus

Dunia perfilman di Indonesia terlihat sedang bergejolak dan berkembang dengan baik, hal ini dilihat dari jumlah penonton bioskop yang terus meningkat ditambah dengan film-film Indonesia yang berkualitas bahkan mendapatkan penghargaan di berbagai festival baik di dalam maupun di luar negeri.

Tiga film terbaru karya anak bangsa dengan kualitas yang sangat indah seperti Ave Maryam (Robby Ertanto), Kucumbu Tubuh Indahku (Garin Nugroho) dan 27 Steps of May (Ravi L. Bharwani).

Tiga film ini tayang serentak di bioskop Indonesia dalam waktu yang berdekatan.

Film Ave Maryam diketahui telah diputar di Cape Town Film Festival 2018, Hanoi Film Festival 2018, Hongkong Film Festival 2018 dan Jogja-NETPAC 2018.

Ave Maryam pun mendapat banyak penghargaan seperti di Festival Film Tempo untuk kategori Aktris Utama Pendukung terbaik.

Kemudian Film Ave Maryam masuk sebagai nominasi dalam lima kategori di ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2019.

Lima nominasi untuk film Ave Maryam yaitu Best Film, Best Film Editing, Best Actress (Maudy Koesnaedi), Best Actor (Chicco Jerikho), Best Director (Ertanto Robby Soediskam).

Poster Ave Maryam | Ig/avemaryammovie
Poster Ave Maryam | Ig/avemaryammovie
Film Ave Maryam pun berpotensi larang tayang di Indonesia karena mengusung isu yang cukup sensitif: agama. Film ini berkisah tentang suster Katolik yang jatuh cinta dengan seorang Romo, mereka berdua seharusnya hidup berkaul atau selibat.

Film Ave Maryam pun lolos dari Lembaga Sensor Film (LSF) namun saat tayang di bioskop Indonesia ada bagian film yang menjadi "nyawa" film ini dihapus oleh LSF.

Film selanjutnya adalah Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho yang sudah diakui filmnya dengan memenangkan berbagai penghargaan internasional seperti Asia Pacific Screen Award, film terbaik Festival Des 3 Continents Nantes 2018, dan mengikuti seleksi Festival Film International di Venesia.

Meskipun mendapatkan sederet prestasi dengan penghargaan, film Kucumbu Tubuh Indahku ternyata mendapatkan ancaman karena dianggap mengkampanyekan LGBT dan tidak sesuai dengan budaya ketimuran.

Beberapa daerah yang mengimbau larangan penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku seperti Garut, Depok, Kubu Raya, Pontianak, Palembang, hingga Kalimantan Barat.

Film Kucumbu Tubuh Indahku dikecam dan dituding mengkampanyekan isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).

Padahal Film Kucumbu Tubuh Indahku bertemakan tentang Lengger Lanang yang merupakan salah satu seni tari asal Banyumas yang diprakirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan menjadi bagian dari ritus kesuburan.

Poster Film Kucumbu Tubuh Indahku | Ig/garin_film
Poster Film Kucumbu Tubuh Indahku | Ig/garin_film
Lengger Lanangpun terancam punah akibat tingginya sentimen negatif terhadap kelompok LGBT.

Meskipun pada waktu pemerintahan Gusdur Kementrian Penerangan sudah dihapuskan, namun kreativitas anak bangsa dalam dunia perfilman masih berada dalam bayang-bayang boikot yang cacat nalar.

Menurut Indonesian Directors Club, selain Film Kucumbu Tubuh Indahku masih ada 8 film Indonesia lainnya yang dilarang tayang baik oleh LSF maupun mendapat ancaman dari masyarakat karena dianggap bisa menimbulkan keresahan masyarakat atau membawa isu SARA.

Delapan film tersebut seperti Pocong, Suster Keramas, Cin(T)a, Perempuan Berkalung Sorban, Cinta tapi Beda, Tanda Tanya(?), Naura dan Genk Juara hingga Dilan 1991.

Belum lagi, baru-baru ini muncul petisi untuk tidak meloloskan film Dua Garis Biru yang akan tayang pada bulan Mei 2019 ini karena dinilai menjerumuskan generasi muda di Indonesia.

Ironisnya, film Dua Garis Biru karya Ginatri S Noer ini belum tayang sama sekali namun sudah dianggap menjerumuskan dan merusak generasi muda. Hal ini dilihat dari judul dan trailernya yang ditangkap akan menceritakan tentang anak SMA yang hamil di luar nikah.

Petisi yang dibuat oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) ini tentu menuai kontroversi untuk dunia perfilman.

Pemboikotan" yang Cacat Nalar

Tentu saja ancaman pemboikotan dan pelarangan film Indonesia ini dinilai cacat nalar, seperti Film Kucumbu Tubuh Indahku dianggap mengkampanyekan LGBT dengan mengangkat cerita tentang seorang Gay. 

Lantas apakah dengan menonton film bertemakan gay secara otomatis akan membuat kita menjadi gay? tentu saja tidak.

Komedian Bintang Bete melalui akun Twitternya memuat sebuah sindiran tentang pelarangan penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku.

"Pelem tentang eljibiti dilarang karena ditakutkan penontonnya jadi eljibiti. Saya dulu suka nonton pelem pampir china, boro-boro jadi pampir, jadi china juga engga." tulis @bintangbete melalui akun Twitternya.

Garin Nugroho melalui akun Instagramnya menyebutkan bahwa petisi untuk tidak menonton film Kucumbu Tubuh Indahku lewat ajakan medsos tanpa proses dan ruang dialog menunjukkan penghakiman massal lewat media sosial.

Hal tersebut adalah anarkisme massa tanpa proses dialog yang akan mematikan daya kerja serta cipta yang penuh penemuan warga bangsa serta mengancam kehendak atas hidup bersama manusia untuk bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan sebagai tiang utama demokrasi.

Atau film Dua Garis Biru yang dibuatkan petisi oleh Garagaraguru untuk tidak meloloskan film tersebut karena dianggap akan merusak generasi muda hanya melihat dari judul film dan trailer yang ditayangkan dengan durasi satu menit delapan detik.

Tentu saja dengan durasi satu menit tidak serta-merta akan mewakili seluruh isi film dengan durasi dari 45 hingga 1,5 jam tersebut.

Nalar yang seperti ini akan menghasilkan generasi yang tidak mau melihat lebih dalam pada sebuah permasalahan yang lebih kompleks lagi.

Bila dengan nalar dan premis yang sama diterapkan tentunya akan banyak film yang seharusnya dilarang tayang dan tidak lulus sensor karena tidak sesuai dengan budaya ketimuran, penuh dengan kekerasan, ataupun "merusak generasi bangsa."

Dengan begitu, kebebasan berkespresi di Indonesia akan menjadi terbatas dengan pengekangan nilai-nilai yang sebenarnya bersifat sangat "karet" .

Bahwa seharusnya edukasi terhadap nilai hidup dalam berbangsa dan bernegara bukanlah tanggung jawab utama para sutradara film, seharusnya hal tersebut dilakukan diranah private bukan publik sebagai tanggung jawab kita semua bukan hanya para kru film.

Karena dengan berkembangnya teknologi informasi saat ini, sangat sulit mengendalikan ranah publik yang bergerak begitu cepat, bahkan pemerintahpun saat ini terlihat sangat kelabakan menghadapi hal tersebut.

Maka jalan yang paling efektif adalah edukasi yang dilakukan secara personal dengan mencoba melihat segala sesuatu secara holistik. Sehingga benteng di dalam diri menjadi lebih kuat dari serangan yang dianggap "merusak" tidak dengan melemparkan tanggung jawab besar kepada mereka yang seharusnya tidak diberi tanggung jawab tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun