Hal ini pun menjadi celah besar bagi Kementrian Perhubungan dan Kementrian Kenagakerjaan karena relasi kerja antara driver ojek online dengan aplikator tidak bersangkutan dengan UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menolak melakukan intervensi karena secara legalitas, driver ojek online dan aplikator tidak masuk dalam domain Kemenaker.
Di sisi lain, regulasi hukum yang mengatur ojek online sebagai angkutan umum juga belum ada karena ojek online tidak diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sehingga pemerintah melalui baik Kemenhub maupun Kemenaker masih belum bisa melakukan intervensi bila UU Ketenagakerjaan dan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum direvisi.
Dengan celah ini, driver/pengemudi ojek online lah yang paling dirugikan karena tidak adanya jaminan kesehatan, kepastian kerja, keamanan dan keselamatan, asuransi, biaya perawatan kendaraan yang harus ditanggung sendiri, hingga suspend yang kerap dilakukan secara sepihak oleh penyedia aplikator.
Hal ini menjadi Pekerjaan Besar yang sangat besar untuk Pemerintah baik Kemenaker dan Kemenhub, karena disisi meroketnya salah satu startup buatan Indonesia yang digadang-gadang telah menjadi decacorn, namun masih mempunyai sisi gelap tentang perlindungan mitra kerja mereka.