Mohon tunggu...
Gigih Prayitno
Gigih Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Masih belajar agar dapat menulis dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama FEATURED

Lingkaran Setan Tarif Baru Ojek Online

1 Mei 2019   15:30 Diperbarui: 13 Juni 2019   00:48 3515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo Driver Ojek Online (23/4/2018) | Kompas/Andreas Lukas Altobeli

Selamat Hari Buruh Para Driver Ojek Online

Jangan kaget bila kamu sebagai pengguna moda transportasi ojek online merasa bahwa tarif yang tertera pada aplikasi ojek online saat ini menjadi jauh lebih mahal daripada sebelumnya.

Hal ini karena terhitung hari ini (1/5/2019) lima kota dalam tiga zona di Indonesia sedang menguji-coba tarif baru ojek online berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan.

Pemberlakukan tarif baru ojek online di lima kota dalam tiga zona tersebut akan dievaluasi dalam seminggu kedepan yang menjadi upaya mitigasi risiko dan mitigasi manajemen penerapan regulasi peraturan baru dari Kemenhub yang nantinya akan diterapkan di seluruh Indonesia.

Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.

Tarif Baru di Tiga Zona Lima Wilayah Indonesia

Tarif baru ojek online ini diberlakukan di lima kota pada tiga zona di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar.

Adapun besaran tarif ojek online akan terbagi menjadi 3 zona. Zona 1 untuk wilayah Sumatera, Jawa (tanpa Jabodetabek), dan Bali.

Untuk zona 2 adalah Jabodetabek dan untuk zona 3 adalah Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan lainnya.

Adapun besaran tarif nett untuk Zona I per 1 kilometer adalah dengan batas bawah Rp 1.850 dan batas atas Rp 2.300, dengan biaya jasa minimal Rp 7.000-Rp 10.000.

Sementara untuk Zona II per 1 kilometer adalah pada batas bawah Rp 2.000 dengan batas atas Rp 2.500, dan biaya jasa minimal Rp 8.000-Rp 10.000.

Untuk Zona III per 1 kilometer adalah pada batas bawah Rp 2.100 dan batas atas Rp 2.600 dengan biaya jasa minimal Rp 7.000- Rp 10.000.

Penetapan tarif baru dari biaya jasa batas bawah dan batas atas maupun biaya jasa minimal ini merupakan biaya yang telah mendapatkan potongan tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi.

Biaya tidak langsung adalah biaya jasa yang ada di dalam pihak aplikator sebanyak maksimal 20 persen.

Kemudian yang 80 persen adalah menjadi hak dari pengemudi ojek online tersebut.

Selain biaya langsung dan tidak langsung, ada pula biaya jasa minimal (flag fall) yaitu biaya jasa yang dibayarkan oleh penumpang untuk jarak tempuh paling jauh 4 kilometer.

Dalam masa uji coba pemberlakukan tarif baru ojek online yang dirasa lebih mahal ini, regulasi ini disusun dengan melibatkan berbagai unsur yang bersangkutan seperti pemerintah, aplikator dan juga pengemudi.

Selain menetapkan biaya jasa, diharapakan regulasi tersebut melindungi pengemudi terutama dari segi keselamatan dan kesejahteraan.

Pro Kontra Penentuan Tarif  Baru Batas Bawah dan Batas Atas

Penentuan tarif baru per satu kilometer ojek online ini seperti pedang bermata dua yang akan berpengaruh langsung pada dua pihak yakni pengemudi dan pelanggan. Bila dirasa naik maka akan menguntungkan driver namun merugikan pelanggan, begitu juga sebaliknya.

Sebenarnya penetapan tarif baru ojek online per kilometer ini sebenarnya masih di bawah rekomendasi dari Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia.

Garda Indonesia merekomendasikan untuk tarif ojek online idealnya sebesar Rp 2.400 per kilometer tanpa potongan dari pihak aplikator.

Dengan tarif sebesar itu, sudah menguntungkan untuk kesejahteraan dalam pendapan para driver dan juga relatif terjangkau untuk para masyarakat pengguna layanan ojek online tersebut.

Sedangkan di sisi yang lain, studi independen yang dilakukan oleh Grab menyarankan bahwa nominal batas bawah tarif ojek online per satu kilometer sebesar Rp 2.000.

Hal ini dikarenakan sekitar 71 persen pengguna ojek online hanya mampu menoleransi kenaikan pengeluaran untuk transportasi kurang dari Rp 5 ribu.

Dengan rata-rata perjalanan yang ditempuh oleh pelanggan adalah 8,8 kilometer per harinya, maka diasumsikan bila biaya 4 kilometer pertama adalah 9 ribu, maka uang yang harus dikeluarkan oleh costumer kira-kira Rp 21 hingga 24 ribu perharinya.

Angka ini tentu lebih besar jika dibandingkan dengan tarif lama sebesar Rp 6 ribu per 4 kilometer pertama, sehingga berdasarkan tarif lama pelanggan ojek online mengeluarkan uang kira-kira Rp 15.600 hingga 16.800 per harinya.

Kenaikan tarif yang terlalu signifikan ditakutkan akan berdampak pada konsumen ojek online yang sebagian besar adalah kelas menengah dengan anggaran transportasi yang terbatas seperti mahasiswa, pekerja kantoran dan ibu rumah tangga.

Sehingga ditakutkan mereka kesulitan adaptasi maka banyak yang meninggalkan ojek online dan memilih ke moda transportasi yang lebih terjangkau lainnya.

Polemik Lain terkait Ketenagakerjaan antara Driver dan Penyelia Aplikasi

Polemik lain yang hadir dari masalah ojek online adalah permasalah tentang ketenagakerjaan yang dirasa pemerintah sangat gagap menanggapi inovasi teknologi yang bergerak begitu cepat.

Saat ini hubungan antara driver dengan aplikator adalah penyedia aplikasi layanan dengan mitra kerja atau Ride Sharing, sehingga tidak ada payung hukum ketenagakerjaan yang jelas antara driver dan aplikator.

Hal ini pun menjadi celah besar bagi Kementrian Perhubungan dan Kementrian Kenagakerjaan karena relasi kerja antara driver ojek online dengan aplikator tidak bersangkutan dengan UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menolak melakukan intervensi karena secara legalitas, driver ojek online dan aplikator tidak masuk dalam domain Kemenaker.

Di sisi lain, regulasi hukum yang mengatur ojek online sebagai angkutan umum juga belum ada karena ojek online tidak diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Sehingga pemerintah melalui baik Kemenhub maupun Kemenaker masih belum bisa melakukan intervensi bila UU Ketenagakerjaan dan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum direvisi.

Dengan celah ini, driver/pengemudi ojek online lah yang paling dirugikan karena tidak adanya jaminan kesehatan, kepastian kerja, keamanan dan keselamatan, asuransi, biaya perawatan kendaraan yang harus ditanggung sendiri, hingga suspend yang kerap dilakukan secara sepihak oleh penyedia aplikator.

Hal ini menjadi Pekerjaan Besar yang sangat besar untuk Pemerintah baik Kemenaker dan Kemenhub, karena disisi meroketnya salah satu startup buatan Indonesia yang digadang-gadang telah menjadi decacorn, namun masih mempunyai sisi gelap tentang perlindungan mitra kerja mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun