Mohon tunggu...
Gigih Prayitno
Gigih Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Masih belajar agar dapat menulis dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Jogja Masih Istimewa?

8 April 2019   20:10 Diperbarui: 8 April 2019   20:14 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abdi Dalem di Keraton Jogjakarta (Kompas)

Jogja sedang menghadapi masa-masa yang cukup rumit, mulai dari gesekan dan benturan berbasis identitas, konflik agraria hingga isu kemiskinan yang melada.

Pada 2016 yang lalu, saya bersama dengan seorang teman, Adit, melakukan perjalanan satu hari, One Day Trip ke Jogjakarta. Sebenarnya perjalanan kesekian kalinya ke Jogja, namun dengan gaya yang berbeda.

Bila biasanya hampir setiap bulan kami pergi untuk camping di kawasan Gunungkidul melepas penat dari lelahnya perkuliahan pantai-pantai di Gunungkidul menjadi pelarian sementara kami.

Namun pada perjalanan One Day Trip ini saya dan Adit dalam satu hari pergi menjelajahi 7 destinasi yakni Candi Ratu Boko, Hutan Pinus Mangunan, Gumuk Pasir Parangkusumo, Pantai Cemoro Sewu, Parangtritis, menyusuri Malioboro hingga berhenti di Titik Nol Kilometer dengan uang tak lebih dari Rp 100 ribu. (Cerita Perjalanan Selengkapnya di Sini)

Tidak hanya menyusuri destinasi tersebut, dari perjalanan One Day Trip itulah saya baru benar-benar merasakan bahwa Jogja begitu istimewa, istimewa orangnya, istimewa negerinya, istimewa penduduknya dan saya percaya bahwa kesan istimewa itu selalu ada untuk mereka yang hadir di kota ini.

Jogjakarta memiliki kesan romantika yang sangat dalam. Bagi mereka yang pernah singgah di Jogja pasti langsung jatuh hati terhadap kota ini. Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa "Setiap sudut kota Jogja itu romantis," Selain itu, sastrawan Joko Pinorbo juga pernah mengungkapkan bahwa Jogja itu terbuat dari rindu, pulang dan angkringan. Pada intinya adalah banyak orang yang jatuh hati dengan kota Jogjakarta.

Hutan Pinus Mangunan
Hutan Pinus Mangunan

Jogja juga menajdi tempat lahir banyak pekerja seni seperti sutradara, pelawak, band, musisi, dan para pekerja hebat lainnya. Sebut saja sutradara Hanung Bramantyo, Garin Nugroho, pelawak Butet Kertaradjasa, penyanyi sekaligus rapper Kill The DJ, band-band seperti Sheila on Seven hingga Endank Soekamti lahir dan tumbuh di kota ini.

Belum lagi, Jogja dianggap sebagai kota pelajar dimana ribuan hingga jutaan orang dari seluruh penjuru nusantara dari Sumatera hingga Papua sana belajar dan menimba ilmu di sini. Beberapa para pemimpin juga pernah hidup di Jogja sebut saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hingga orang nomor satu di Indonesia itu sendiri Ir. Joko Widodo.

Jogja dengan semua yang pernah hadir, hidup dan bertumbuh menjadikan kota ini begitu istimewa, menjadi bagian dari Indonesia yang memiliki hak khusus tersendiri dengan bentang alam yang menawan dengan gagahnya Gunung Merapi di sisi utaranya dan Parangtritis di sebelah selatannya.

Namun, apakah saat ini Jogja masih Istimewa?

Ini adalah pertanyaan yang hadir karena adanya distorsi-distorsi yang cukup bising dengan apa yang sudah terjadi di Jogjakarta pada akhir-akhir ini.

Gesekan-gesekan berbalut perbedaan identitas yang sebenarnya sebuah keistimewaan luar biasa dari Indonesia terasa menjadi hal yang sangat sensitive. Baru saja terjadi pengrusakan dan pembakaran nisan salib yang terbuat dari kayu di pemakaman RS Bethesda di Jalan Affandi, Kel Mrican, Desa Caturtunggal, Sleman.

Nisan Salib yang Terbakar (Kompas)
Nisan Salib yang Terbakar (Kompas)

Sebelumnya, kita juga dihebohkan dengan berita penolakan sebuah kampung di Pleret terhadap seorang warga yang baru saja mengontrak di kampung tersebut. Penolakan tersebut dikarenakan Slamet Jumiarto berbeda agama dengan warga dusun, tidak secara kebetulan juga Slamet beragama Katolik.

Bila kita ingin menelisik lebih dalam lagi, banyak kasus dan peristiwa serupa terjadi di Jogjakarta. Pada tahun 2016 terdapat sekitar 21 peristiwa terkait kekerasan yang bernuansa identitas di Yogyakarta mulai dari penutupan pesantren Waria, bentrok warga dengan MTA di Wonosari hingga pengepungan Asrama Papua.

Beberapa kasus sudah menemukan titik temu dan sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun luka yang sudah ada tentu akan membekas.,

Konflik Agraria

Selain itu, Jogja juga mengalami beberapa konflik agraria yang cukup masif.

Pada akhir 2017 yang lalu, setidaknya terdapat 20 konflik agrarian yang terjadi di Yogyakarta. Beberapa konflik ini timbul karena adanya kepentingan dari beberapa pihak mulai dari para pebisnis hingga negara sendiri yang saat ini gencar melakukan pembangunan dan modernisasi yang begitu masif.

Deretan Konflik Agraria di Jogja (Twitter/ImmGh)
Deretan Konflik Agraria di Jogja (Twitter/ImmGh)

Beberapa konflik agraria ini mulai dari konflik penambangan pasir besi di Glagah antara PT. Krakatau Steel dengan warga sekitar hingga yang terbaru adalah konflik mengenai pembangunan dari New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) yang disebut sebagai bandara terluas ke tiga di Indonesia, namun pembangunan tersebut mendapat perlawanan dari aktivis lingkungan dan Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo sendiri.

Dosen Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan bahwa proses pembangunan Bandara Kulon Progo dan pengadaan tanah tak lepas dari konflik lahan Yogyakarta. Perencanaan proyek tanpa proses dialog dan partisipasi yang memuaskan semua warga. . . bisa menyimpan bara api konflik.

Dari banyaknya konflik agraria, tentunya yang paling dirugikan adalah mereka yang terkecil dan tidak punya kuasa yakni para penduduk setempat, mereka yang tinggal dan menetap harus secara terpaksa terusir dari rumah mereka sendiri.

Upah Minimum Provinsi Terkecil di Indonesia

Selain pergesekan identitas dan konflik agraria yang terjadi di Yogyakarta, sebuah fakta yang lebih miris adalah di balik maraknya pembangunan hotel, mall, resort, bandara yakni Jogjakarta menjadi provinsi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah se-Indonesia, ini sungguh menjadi sebuah ironi yang menyedihkan.

Besaran Upah Minimum Jogjakarta saat ini adalah Rp 1,851 juta untuk Kota Jogjakarta, 1,7 juta untuk daerah Sleman, 1,698 juta untuk daerah Bantul dan 1,613 juta untuk wilayah Gunungkidul.

Padahal, berdasarkan survei dari Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) mengungkapkan bahwa idealnya UMP DIY berkisar pada angka 2,5 juta hingga 3 juta.

Peringatan Hari Buruh di Jogja (Tribun Jogja)
Peringatan Hari Buruh di Jogja (Tribun Jogja)

Sangatlah ironi dimana pembangunan besar-besar sedang berlangsung, promosi untuk menggaet wisatawan dari berbagai daerah hingga luar negeri sedang digalakan, tapi kesejahteraan para kaum buruh dan pekerja berada di bawah batas untuk hidup layak. Maka hal ini sangat mudah memicu terjadinya benturan-benturan sosial.

Jogja Butuh Harapan

Abdi Dalem Cilik Jogja (twitter.com/jogjatoday)
Abdi Dalem Cilik Jogja (twitter.com/jogjatoday)

Kita harus mengetahui bahwasannya ketidakpedulian akan kesejahteraan masyarakat menengah kebawah akan memudahkan terjadinya konflik horizontal yang berbasis identitas.

Pemerintah Jogjakarta dan segenap masyarakat perlu lagi meninjau ulang bahwa apa yang sedang terjadi pada hari-hari terakhir menunjukkan Jogja sedang tidak baik-baik saja. Dibutuhkan upaya yang lebih keras lagi untuk meredam konflik yang sudah seperti bom waktu, bisa meledak kapanpun bila pemicunya (kemiskinan) terpelatuk.

Kita butuh upaya dan usaha lebih keras lagi untuk mengupayakan kesejahteraan dan keadilan sosial harus bisa merengkuh semua lapisan hingga pada lapisan-lapisan yang paling rendah. 

Kita butuh upaya yang tidak biasa agar penerimaan dalam sebuah perbedaan adalah sebuah hal yang wajar dan tidak perlu dicurigai.

Kita butuh usaha lebih keras lagi agar benturan-benturan sosial terkait identitas tidak terulang kembali dan sebuah peradaban yang manusiawi hadir di kota ini.

Dan kita butuh usaha dan upaya lebih halus lagi, agar Jogja masih menjadi tempat yang istimewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun