Ini adalah pertanyaan yang hadir karena adanya distorsi-distorsi yang cukup bising dengan apa yang sudah terjadi di Jogjakarta pada akhir-akhir ini.
Gesekan-gesekan berbalut perbedaan identitas yang sebenarnya sebuah keistimewaan luar biasa dari Indonesia terasa menjadi hal yang sangat sensitive. Baru saja terjadi pengrusakan dan pembakaran nisan salib yang terbuat dari kayu di pemakaman RS Bethesda di Jalan Affandi, Kel Mrican, Desa Caturtunggal, Sleman.
Sebelumnya, kita juga dihebohkan dengan berita penolakan sebuah kampung di Pleret terhadap seorang warga yang baru saja mengontrak di kampung tersebut. Penolakan tersebut dikarenakan Slamet Jumiarto berbeda agama dengan warga dusun, tidak secara kebetulan juga Slamet beragama Katolik.
Bila kita ingin menelisik lebih dalam lagi, banyak kasus dan peristiwa serupa terjadi di Jogjakarta. Pada tahun 2016 terdapat sekitar 21 peristiwa terkait kekerasan yang bernuansa identitas di Yogyakarta mulai dari penutupan pesantren Waria, bentrok warga dengan MTA di Wonosari hingga pengepungan Asrama Papua.
Beberapa kasus sudah menemukan titik temu dan sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun luka yang sudah ada tentu akan membekas.,
Konflik Agraria
Selain itu, Jogja juga mengalami beberapa konflik agraria yang cukup masif.
Pada akhir 2017 yang lalu, setidaknya terdapat 20 konflik agrarian yang terjadi di Yogyakarta. Beberapa konflik ini timbul karena adanya kepentingan dari beberapa pihak mulai dari para pebisnis hingga negara sendiri yang saat ini gencar melakukan pembangunan dan modernisasi yang begitu masif.
Beberapa konflik agraria ini mulai dari konflik penambangan pasir besi di Glagah antara PT. Krakatau Steel dengan warga sekitar hingga yang terbaru adalah konflik mengenai pembangunan dari New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) yang disebut sebagai bandara terluas ke tiga di Indonesia, namun pembangunan tersebut mendapat perlawanan dari aktivis lingkungan dan Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo sendiri.
Dosen Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan bahwa proses pembangunan Bandara Kulon Progo dan pengadaan tanah tak lepas dari konflik lahan Yogyakarta. Perencanaan proyek tanpa proses dialog dan partisipasi yang memuaskan semua warga. . . bisa menyimpan bara api konflik.