Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intoleransi itu Impor, Ayo Perkuat Budaya dan Kearifan Lokal

14 September 2016   21:39 Diperbarui: 14 September 2016   21:52 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: commons.wikimedia.org

Merujuk pada sejarah Majapahit dan Sriwijaya, dahulu kala ada dua agama dominan di Nusantara, Buddha dan Hindu saja. Kejawen dan kepercayaan lain mungkin ada juga, tetapi tidak digolongkan sebagai agama. Mungkin karena penyebarannya tidak sistematis, hanya dari mulut ke mulut dan tidak banyak mengandung ritual massal rutin yang berhubungan dengan kalender keagamaan.

Meski hanya ada dua agama, pola interaksi antarpemeluk agama dapat dijadikan tolok ukur toleransi antaragama. Informasinya dapat dijadikan bukti adanya kerukunan masyarakat yang berlatarbelakang perbedaan agama. Karena dua agama dominan itu pun terdispersi menjadi berbagai aliran dengan ciri khas masing-masing.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hadir berdasarkan konteks dan kondisi keberagaman dua agama yang ada saat penyusunan kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular. Kitab Sutasoma sendiri diyakini disusun pada zaman Kerajaan Majapahit.

Meski wilayah kekuasaan Majapahit menjangkau habitat suku-suku yang beraneka ragam, sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang ada dalam kitab Sutasoma membidik keanekaragaman agama. Karena kalimat lebih lengkapnya adalah

"Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharmma mangrwa."

Dalam bukunya "Hinduism in Modern Indonesia", Martin Ramstedt mengartikannya sebagai:

It is often said that the eminent Buddha and Siwa are two different essences, indeed different from each other at a quick glance. But the essence of the Jina and the reality of Siwa are identical, diverse, yet identical, as there are no two truths.

Artinya kurang lebih: Konon katanya Buddha dan Siwa (Hindu) merupakan dua zat yang berbeda, benar-benar berbeda satu sama lain dalam sekilas pandangan saja. Namun esensi Jina (Buddha) dan realitas Siwa itu identik, berbeda-beda tetapi hakikatnya satu jua, karena tidak ada kebenaran yang mendua.

Ada "klausul" Siwa dan Buddha yang pastinya menunjuk pada dua agama besar yang saat itu ada. Dan yang dimaksud kebenaran atau dharma dalam sesanti di atas tentulah kebenaran universal yang bersifat tunggal alias esa.

Jadi, sekali lagi, sesanti Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab aslinya menceritakan keanekaragaman agama yang ada dan kesamaan hakikat yang dimilikinya meski berbeda dalam hal ritual dan doa. Hal ini sekaligus menggambarkan kerukunan umat beragama di Indonesia yang sudah terbina sejak dulu kala dalam balutan toleransi yang pastinya sederhana.

 Maka tak berlebihan kiranya jika kita klaim bahwa kerukunan umat beragama merupakan budaya asli nusantara, budaya asli Indonesia. Hidup damai dengan semuanya meski berbeda pandangan atau agama; itulah kearifan nusantara, kearifan budaya kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun