Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Balada Tumenggung Pragolagong

4 April 2016   15:57 Diperbarui: 4 April 2016   17:48 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=" (Sumber gambar: en.wikipedia.org, Creative Commons Attribution-SA)"][/caption]

Tersebutlah sebuah kerajaan besar di masa lalu. Kerajaan di sekeliling benteng tebal nan keras. Kerajaan ini pernah jaya sebelum akhirnya sekumpulan oknum penjajah dari Belanda yang tak diberkati tuhan berhasil mengacaukannya. Kedamaian kerajaan dirusak, tatanan diinjak-injak, kesatuan disulap jadi kebanyakan. Jadilah kerajaan itu porak poranda oleh ulah Belanda.

Seiring perubahan iklim politik penjajahan yang terpaksa mulai bersikap etis, maka jadilah kerajaan menjadi pusat ilmu dan budaya yang dihormati oleh penjajah sekalipun. Penjajah juga terkesan memberi penghormatan berlebihan pada para bangsawan keluarga kerajaan dibandingkan rakyat jelata apalagi rakyat jelalatan. Dunia menyebutnya sistem feodal.

Para bangsawan yang merasakan angin segar pun berusaha melanggengkan kenyamananannya hingga akhir zaman. Mereka mempertahankan kemurnian trah dan keturunannya. Bahkan tidak cukup itu saja. Karena darah atau trah tidak begitu saja diketahui orang dari wajah seseorang, maka dibuatlah peraturan tentang busana-busana yang membedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Juga penamaan diri yang menonjolkan sifat keningratan. Jadilah sistem kasta membudaya, keluarga raja tak mau membaur dengan rakyatnya. Memang ini yang dimaui para penjajah. Konsep absurd "manunggaling kawula gusti" tidak boleh terlaksana dalam dimensi nyata kehidupan rakyat jajahannya. Bisa bahaya. Jika raja dan rakyatnya bersatu padu seia sekata, penjajah pasti terancam eksistensinya.

Di masa kemerdekaan, kerajaan besar masa lalu itu menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI tanpa syarat. Itu bukan pengakuan politik yang sembarangan karena tidak hanya sistem monarki yang diikhlaskan, tetapi juga feodalisme yang sengaja dilepaskan. Sang Raja yang bergelar sultan itu terkenal dekat dengan rakyatnya. Beliau sadar jika feodalisme merupakan akal-akalan penjajah untuk menjauhkan raja dari rakyatnya. Beliau melawan feodalisme itu. Pemahaman beliau itu pastinya juga beliau tularkan pada segenap keluarganya.

Namun, tak semua anggota keluarganya paham itu. Meski busana kebangsawanan telah bergeser menjadi semacam kostum budaya alih-alih penanda status trah keningratan, kebanggaan atas nama khusus warisan feodalisme masih saja meraja. Nggak pake lela, karena yang bangga biasanya hanya yang pria. Termasuk tokoh yang disebut Tumenggung Pragolagong ini.

Tumenggung Pragolagong atau lebih lengkapnya Kanjeng Raden Mas Tumenggung Pragolagong ini sangat bangga sekali dengan gelar kebangsawanan yang disandangnya. Bahkan di ranah media sosial dunia maya di mana kasta seseorang hanya dinilai dari apa yang ia sampaikan, ia cantumkan gelar kebangsawanannya itu: KRMT Pragolagong. Lucu? Tidak juga. Stigma "konyol" lebih tepat baginya. Mencantumkan gelar akademik jauh lebih masuk akal. Di dunia maya, orang bebas memilih nama untuk akun pribadinya, mau memakai awalan Kaisar, King, Raja, Sayeed, Sultan, Shah, Syeh, Mantri, Demang, Lurah, Bekel, atau yang lainnya tanpa perlu surat izin atau "layang kekancingan". Tumenggung Pragolagong yang katanya pakar telematika itu pastinya tahu. Adapun ia tetap mencantumkan gelar keningratannya itu baik sengaja ataupun tidak, sadar ataupun tidak, memang hanya bisa dimaknai sebagai sebuah kekonyolan belaka.

Tumenggung Pragolagong sepertinya punya bakat kontroversial. Mungkin karena akar feodalisme yang kuat mengakar yang menjadikannya antikritik dan selalu menolak untuk disalahkan. Feodalisme memang gitu. Bukan tanpa alasan jika para bangsawan, priyayi, atau bandoro selalu memiliki satu atau lebih abdi yang menyertai ke manapun ia pergi. Selain sebagai pelayan, para abdi juga berperan sebagai "paran cucuhan" atas segala kesalahan sang majikan. Pokoknya majikan tak pernah salah; segala kesalahan akan ditimpakan dan diakui oleh abdi-abdinya. Sebagai ilustrasi klise, saat majikan buang angin berbau di hadapan banyak orang, biasanya langsung marah dan menuduh abdinya yang berada di dekatnya. Si abdi yang sadar itu sebagian dari tugasnya akan dengan santun mengakuinya. Muka sang majikan selamat, si abdi juga tak rugi-rugi amat. Mengakuisisi kentut bau sang majikan merupakan bagian dari pengabdian. Masalahnya, hal itu tidak termasuk aksi visual semacam ngupil di ruang sidang yang pernah si Tumengung Pragolagong lakukan. Publik telanjur melihat, alibi macam manapun tak valid untuk mengingkarinya. Adapun Tumenggung Pragolagong tetap berdalih macam-macam untuk membela kehormatan dirinya, publik bisa memakluminya sebagai efek feodalisme yang berujung pada kikukisme. Kikuk untuk mengakui kesalahan karena memang tidak biasa melakukan, kikuk untuk meminta maaf karena tidak biasa disalahkan, kikuk juga untuk malu. Secara metadata, kaum feodal terbiasa menukar rasa malu dengan kemarahan. Tumenggung Pragolagong memang konyol.

Meski memposisikan diri sebagai bangsawan, Tumenggung Pragolagong bukanlah raja yang memiliki rakyat dan  wilayah kekuasaan. Maka untuk mendukung eksistensi kebangsawanannya ia terpaksa mengabdi pada orang yang dianggapnya berkuasa. Pilihannya jatuh pada penguasa yang biasa disebut Suyudono. Bukan nama sebenarnya, bukan pula akronim, sekadar "sandiasma". Mungkin panji-panji warna biru milik Suyudono itu yang membuat Pragolagong tertarik, sesuai benar dengan trah darah biru yang mengalir di tubuhnya. Mungkin juga secara metadata dan metafisika Pragolagong membaca makna nama Suyudono yang berarti "sujudilah". Maka semua orang termasuk Pragolagong harus memuji dan bersujud di hadapan si Suyudono itu. Saat Suyudono berbicara, semua orang harus menyimak dan memperhatikannya. Kalau ada yang bicara sendiri akan ditegur dan dimarahinya, apalagi kalau ada yang berani tidur saat si Suyudono berbicara, bisa murka karena merasa kharismanya tak diakui. Sebelas duabelas dengan Takeshi alias "Jayen" dalam serial kartun Dora Emon yang kerap memaksa Nobita dan Suneo untuk mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikannya. Jika Nobita atau Suneo menolak mendengarkan suara bak toa miliknya, Jayen akan memukulinya.

Meski berhasil berkuasa, Suyudono sebenarnya tidak berwahyu sehingga perlu usaha ekstrakeras untuk bisa maju. Dalam mitologi Kopi, penguasa yang tak berwahyu harus didamping minimal satu di antara dua hal, yaitu penasihat yang bijak dan atau pusaka bertuah level kerajaan. Oleh karena Suyudono sudah merasa paling bijak, maka opsi pertama dirasa tidak perlu. Maka opsi kedua yang diburu. Sayangnya, pusaka bertuah tidak dapat diperoleh secara instan, melainkan harus dengan lelaku prihatin. Maka Suyudono pun melakukan pemaknaan politik yang merupakan keahliannya. Suyudono memaknai  lelaku prihatin itu dengan memperbanyak mengucap kata "prihatin". Gampangnya memang gampang, tapi hasilnya tidak ada. Maka Suyudono menempuh jalan pintas lain dengan mencoba meminjam pusaka bertuah pada kerajaan besar masa lalu, tempat "pepundhen" atau nenek moyang Tumenggung Pragolagong berdomisili.

Bagi sebuah kerajaan berlatar belakang budaya Kopi, pusaka adalah salah satu kekuatan utama. Pusaka kerajaan tidak bisa dipinjamkan pada pihak lain manapun. Bahkan dalam cerita wayang, meminjam pusaka kerajaan bisa diartikan sebagai alasan yang dicari-cari untuk menantang perang. Maka permintaan Suyudono pun ditolak oleh sang Sultan. Akibatnya, terjadi ketegangan dan Suyudono pun ngambek dan menyimpan dendam. Bermodal kekuasaannya, segala hal yang berkaitan dengan keistimewaan kerajaan itu direcokinya. Lalu di pihak manakah posisi Tumenggung Pragolagong?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun