Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

"Pelempar Bom" Sesungguhnya dalam Putusan MK tentang Batas Usia Capres-Cawapres

12 Januari 2024   10:41 Diperbarui: 12 Januari 2024   10:46 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tomislav Jakupec/Pixabay

Siapa yang menggugat aturan batas usia capres-cawapres ke MK hingga menimbulkan gonjang-ganjing politik di Pilpres 2024 ini? Gibran-kah? Jokowi-kah? Ibu Iriana-kah? Kaesang-kah? Jan Ethes kah?

Ternyata bukan. Pengugatnya bernama Almas, mahasiswa salah satu universitas di Solo. Memang, ada juga beberapa pihak lain yang menggugat aturan batas usia capres-cawapres, tetapi dalam gugatannya mereka hanya meminta batas itu ditiadakan atau ditinjau ulang. Mereka tidak memberi alternatif/usulan yang sekiranya bisa dianggap masuk akal. Hasilnya gugatan mereka ditolak. Hal berbeda dilakukan oleh Almas yang cerdas.

Dalam gugatannya,  Almas mengusulkan alternatif agar warga yang belum cukup umur menurut aturan tersebut diperbolehkan maju mendaftar asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah. Gugatan Almas ini ternyata dikabulkan MK. Hasilnya, warga yang belum berusia 40 tahun boleh menjadi capres-cawapres asalkan pernah memimpin daerah atau pernah terpilih dalam pemilu/pilkada.

Jika dilihat secara jernih, ada aturan batas usia pemilih dalam pemilu yang hampir sejalan dengan itu. Karena syarat untuk memilih adalah berusia sekurang-kurangnya 17 tahun. Mungkin saja dulunya aturannya cuma itu, sebelum akhirnya ada yang mendebat/menggugat akibat adanya fenomena orang yang belum berusia 17 tahun tapi sudah menikah. Karena menikah bisa dipandang sebagai ukuran kedewasaan seseorang. Jadi, akhirnya syarat untuk memilih dalam pemilu adalah berusia sekurang-kurangnya 17 tahun atau pernah menikah (Sumber). Orang yang pernah menikah tentu pernah menjadi kepala keluarga (suami) atau wakil kepala keluarga (istri). Dengan demikian, tambahan klausul  "atau  pernah menikah" cukup masuk akal, enter brain.

Jika dipahami lagi secara tidak grusa-grusu, aturan batas usia capres-cawapres yang ditambahi klausul "atau pernah terpilih dalam pemilu/pilkada" itu juga masuk akal. Lalu, masalahnya apa?

Masalahnya adalah adanya framing tingkat (inter)nasional yang sedemikian masif. Putusan MK ditengarai hanya dibuat untuk dan hanya untuk Gibran Rakabuming Raka, warga belum cukup umur yang kebetulan menjabat wali kota Surakarta. Apalagi, ketua MK saat itu kebetulan adalah pamannya sendiri. Tuduhan kongkalikong mahkamah keluarga pun laris dilahap masyarakat. Jokowi dituduh merekayasa hukum demi tahta "cawapres" untuk putra sulungnya. Kelompok antijokowi pun berpesta narasi keji.

Kalau mau menyimak lebih teliti, penggugat batas usia capres cawapres bukan hanya Almas. Ada beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ikut mengajukan gugatan "peniadaan" aturan batas usia capres-cawapres. Satu di antaranya adalah Emil Dardak Wakil Gubernur Jawa Timur yang juga belum "cukup umur" (Sumber).

Meski Emil Dardak ikut gugatan yang (hanya) memohon pencabutan batas usia minimal capres-cawapres, dengan dikabulkannya gugatan Almas, ia pun jadi memenuhi syarat untuk maju atau dipilih jadi cawapres atau bahkan capres. Juga kepala atau wakil kepala daerah lain yang kebetulan belum berusia 40 tahun. Jadi, BUKAN hanya Gibran thok! Bukan hanya anak Jokowi thok. Kecuali nanti netizen ada yang bisa membuktikan kalau kepala daerah dan wakil-wakilnya yang tahun ini berusia di bawah 40 tahun ternyata semuanya adalah anak kandung Jokowi.

Apapun itu, bola liar telanjur menggelinding. Tapi aneh nggak sih kalau keluarga Jokowi digugat habis-habisan atas putusan MK yang (kebetulan) memungkinkan Gibran Rakabuming menjadi cawapres, sementara penggugatnya dilupakan dan dianggap tak sedikitpun andil dalam karut marut politik jelang Piplres 2024? Rasanya cukup aneh.

Hanya saja, kalau bisa dibuktikan bahwa pihak Gibran atau Jokowi lah yang menyuruh Almas (plus membimbing diksi apalagi akomodasi) dalam gugatannya, cukup meyakinkan kalau indikasi rekayasa memang ada. Namun, kalau tidak, penggugat satu ini mestinya perlu memberi klarifikasi. Mengingat ada berita online yang cukup menggelitik yang menyiratkan ia "merasa berhak" mendapatkan ucapan terima kasih dari (pihak) Gibran (Sumber). Memangnya Gibran yang nyuruh nggugat? Jangan-jangan, yang nyuruh nggugat justru musuh Gibran. Karena secara alur cerita, gugatan itu justru menjerumuskan Gibran. Karena ia jadi kehilangan alasan untuk menolak saat dipinang jadi cawapres dengan dalih "rakyat-lah yang menginginkannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun