Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Balada Tumenggung Pragolagong

4 April 2016   15:57 Diperbarui: 4 April 2016   17:48 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alih-alih membela pepundhennya sebagai tanda pemahamannya akan filosofi budaya Kopi, Tumenggung Pragolagong justru membela Suyudono yang dianggapnya telah berjasa memberinya jabatan. Pragolagong merasa seperti Karna bin Batara Suryo yang memutuskan untuk membela Duryudana dan memusuhi saudara-saudaranya atas dasar balas budi. Pragolagong beranggapan Suyudono-lah yang berjasa memungkinkan dirinya ngupil di tempat terhormat, bukan si Sultan. Pragolagong tetap merasa dirinya melakukan hal terpuji dan mulia. Suyudono memang mengajarkan bahwa tak ada kata malu dalam kamus seorang politisi.

Politik memang bisa membuat nalar hakiki manusia teracuni. Akar budaya leluhur bisa dengan mudah diingkari. Seperti Tumenggung Pragolagong itu. Boleh saja ia berpredikat bangsawan Kopi yang merasa harga dirinya sangat tinggi. Tak sadar ia bahwa yang harganya tinggi justru kopi yang keluar dari pantat luwak. Kalau itu saja tak ia pahami, layak saja ia tak mampu menjelaskan arti pusaka bertuah level kerajaan pada Suyudono, junjungannya yang sangat ia hormati.

Dalam budaya Kopi, pusaka sebuah kerajaan biasanya meliputi tiga hal, yaitu keris, tombak, dan payung. Keris melambangkan pertahanan diri jarak dekat, head to head. Biasa diletakkan di belakang pinggang sebagai simbol bahwa masyarakat Kopi menempatkan konfrontasi fisik sebagai opsi terakhir. Saat keris berwarangka telah menjelma keris ligan, pemegangnya bisa mengirim musuhnya ke akhirat meski sambil berpelukan. Adapun tombak merupakan simbol pertahanan diri jarak jauh. Bukan jarak fisik, melainkan non fisik, metafisika; bukan metadata. Tombak pusaka digunakan untuk menghadapi musuh yang merintis permusuhan lewat jalur hitam; baik ilmu hitam maupun kampanye hitam. Maka bagi yang ketakutan pada awan hitam yang mendatangi kediamannya dan atau merasa selalu dizalimi fitnah dan omongan orang, memiliki tombak pusaka wajib hukumnya. Payung pusaka merupakan simbol perlindungan dan pengayoman. Maknanya, seorang pemimpin atau penguasa harus bersedia menjadi pelindung dan pengayom warga negaranya, payung itu harus dia bagi rata pada seluruh rakyatnya. Implikasinya, seorang pemimpin tidak boleh curhat di hadapan rakyatnya karena itu berarti mengurangi jatah/kuota pengayoman bagi rakyatnya. Kalau si penguasa sendiri butuh pengayoman dari payung yang sedang dipegangnya, rakyatnyalah yang harus mengalah. Kalau pemimpin saja curhat, terus rakyat musti curhat pada siapa?

Tumenggung Pragolagong sepertinya mustahil memahami makna filosofis pusaka bagi pemimpin semacam itu. Lebih mustahil lagi untuk memberikan pertimbangan bermutu pada junjungannya. Jiwa feodalnya mentk pada kebanggaan menyandang gelar bangsawan, , tidak menjangkau kebanggaan pada adat dan budaya kekopian. Sekadar ikuti arah angin bertiup, yang penting hidup enak dan dihargai tinggi, seperti bangsawan Kopi luwak yang melupakan asal-usulnya, melupakan keluhuran budaya leluhurnya.

Dari hari ke hari tingkah Pragolagong makin konyol. Pernah ia diberitakan marah-marah pada kru perusahaan Burung; mungkin dianggapnya tidak menghormati jabatan yang sedang disandangnya. Ia seakan menuntut untuk diistimewakan. Feodalisme memang tak ada matinya. Andai ia ikut diterbangkan dan terlempar keluar sebelum take off, niscaya ia akan menyalahkan burung blekok lewat yang tidak meminjamkan sayap padanya. Pokoknya, kesalahan merupakan hal yang bersifat eksternal baginya.

Pernah pada sebuah acara televisi, ia dicasting sebagai calon gubernur usungan partai yang sewarna dengan trahnya.(Entah bos partainnya itu serius atau bercanda. Sepertinya cuma "ngepas-pasin" nama dengan Gubernur Ngawi yang pejuang di masa revolusi. Yang hobi klenik mungkin mengira ada hoki akibat kesamaan rima, Ngawi – Betawi, sama-sama  punya buntut "wi"). Dalam acara itu, saat diberi kesempatan bicara, Pragolagong mengeluarkan fatwa supaya jangan mudah percaya pada media sosial karena data bisa direkayasa, dsb. Konyolnya, beberapa saat kemudian ia justru menyodorkan bukti dari media sosial untuk mendukung argumentasinya. Trus yang mau dipercaya yang mana ya, Gong?


Kalau sekarang, sepertinya si Pragolagong akan makin eksis dengan kekonyolannya. Ada rumor bahwa ia akan kembali berkesempatan untuk ngupil lagi di gedung terhormat. Semoga rumor itu tidak benar. Ia lebih baik difokuskan untuk menjaga partai junjungannya supaya tidak terkena wabah korupsi (lagi). Cukup dengan menjaga metadatanya. Sudah, gitu saja ya balada-nya. Don't be too serious. Let's have some java…

–

Layang kekancingan = surat resmi
paran cucuhan = tertuduh/objek hujatan
sandiasma = nama yang disandikan
warangka = sarung keris
ligan =terhunus (senjata)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun