Pagi itu udara masih terasa dingin. Burung-burung berkicau riuh, seakan ikut membangunkan orang-orang dari tidur panjangnya. Aku mengucek mata, mencoba mengusir kantuk yang masih menempel, lalu segera bersiap melaksanakan salat subuh di surau kecil dekat rumah. Jalan setapak menuju surau masih basah oleh embun. Aku tidak tahu, hari itu akan menjadi salah satu hari yang paling kuingat sepanjang hidup.
Seusai salat, aku pulang dengan langkah ringan. Aku mandi, lalu sarapan ditemani acara televisi favorit di ruang tamu. Aroma nasi goreng buatan ibu masih tercium, membuat perutku semakin lapar. Jam sudah menunjukkan pukul 07.10 WIB. Aku kaget, buru-buru meraih tas sekolah, berpamitan pada ibu, dan mengayuh sepeda secepat mungkin agar tidak terlambat. Angin pagi menerpa wajahku, membuatku sedikit terengah. Sesampainya di sekolah, aku langsung masuk kelas dan meletakkan tas dengan tergesa.
Bel masuk berbunyi. Suasana kelas mulai ramai oleh suara tawa dan obrolan teman-temanku. Guru matematika datang agak terlambat. Kesempatan itu langsung dipakai beberapa teman untuk mengerjakan PR yang belum selesai. Aku hanya menghela napas. Seperti biasa, si "cepu" melapor kepada guru ketika beliau datang. Sontak, seisi kelas menatapnya sinis. Aku mencoba menahan tawa kecil, meski dalam hati merasa kasihan juga.
Setelah matematika usai, pelajaran bahasa Inggris dimulai. Aku selalu menyukai pelajaran itu karena terasa mudah dan menyenangkan. Aku menyiapkan buku serta alat tulis dengan rapi, lalu mengikuti pelajaran dengan penuh semangat. Guru menjelaskan materi dengan gaya humoris, membuat kelas riuh oleh tawa. Sesekali, aku mencoba menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris dengan percaya diri. Guru tersenyum, seolah memberi dukungan agar aku lebih berani berbicara.
Bel istirahat pun berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar. Kantin mendadak penuh sesak seperti pasar kecil. Bau gorengan dan mie instan memenuhi udara. Sebagian teman bermain di lapangan, ada yang sekadar mengobrol di teras kelas. Aku dan teman sebangkuku ikut membeli makanan ringan untuk mengganjal perut. Kami duduk di pinggir kantin sambil bercanda. "Eh, jangan habiskan dulu minumnya, nanti haus lagi pas pelajaran," gurau temanku. Aku hanya tertawa kecil sambil mengunyah bakwan hangat.
Waktu istirahat terasa cepat. Bel masuk berbunyi lagi, kami segera kembali ke kelas. Guru melanjutkan pelajaran seperti biasa. Meski tubuh mulai lelah, aku berusaha tetap fokus mendengarkan. Jam dinding terasa berjalan lambat, seakan menahan kebosanan kami semua.
Saat istirahat kedua, seluruh siswa diarahkan untuk salat zuhur di masjid sekolah. Suasana khusyuk memenuhi ruangan. Seusai salat, aku berjalan keluar bersama seorang teman. "Ayo main di lapangan dulu, biar segar," ajaknya. Aku mengangguk setuju. Tidak lama kemudian, ia menatapku dengan senyum penuh tantangan. "Kamu berani duel silat sama aku?" tanyanya. Aku terkejut. "Ah, malas. Capek habis salat." Tapi ia terus membujuk, bahkan menepuk pundakku berkali-kali. Akhirnya aku luluh.
Kami mulai duel dengan lingkaran kecil teman-teman yang menonton. Beberapa bersorak memberi semangat, ada juga yang hanya menonton dengan wajah penasaran. Aku membuka serangan dengan jurus sederhana, tetapi lawanku menangkis dengan mudah. Ia balik menyerang, aku menghindar, lalu mencoba melakukan tipuan. Namun ia tetap sigap, matanya menatap penuh konsentrasi. Suasana menjadi semakin menegangkan, seolah kami benar-benar berada di arena pertandingan resmi.
Lawanku kemudian melancarkan serangan cepat. Aku mencoba menghindar, tetapi terlambat. Keseimbanganku hilang, tubuhku terjatuh keras. Sialnya, wajahku menghantam lantai tanpa sempat kutopang dengan tangan. Suara benturan terdengar jelas. Seketika lingkaran penonton terdiam.
Aku bangkit dengan heran. Semua mata memandangku dengan wajah pucat. Ada yang menutup mulut, ada yang berbisik panik. Aku meraba bibirku, lalu merasakan cairan hangat mengalir deras. Seketika aku sadar, cairan merah kental itu adalah darah. Bibirku robek parah. Aku terhuyung beberapa langkah, teman-teman berteriak histeris.
"Cepat bawa ke UGD!" teriak salah satu guru yang datang tergesa. Guruku menarik tanganku, lalu membawaku dengan motor ke puskesmas terdekat. Angin siang menerpa wajahku, bercampur dengan perih di bibir yang tak berhenti berdarah. Sesampainya di sana, dokter langsung menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. "Namanya siapa? Kelas berapa? Tempat tanggal lahir?" Aku ingin menjawab, tapi rasa nyeri membuat lidahku kelu. Setiap kata terasa seperti disayat pisau.