Mohon tunggu...
Ges Saleh
Ges Saleh Mohon Tunggu... Buruh - Menulis supaya tetap waras

Bercerita untuk menasihati diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tumbal

6 September 2020   20:30 Diperbarui: 11 September 2020   21:09 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara pintu kamar dibuka dan suara tangisan itu makin terdengar nyata. Wanita itu bangun seketika. Diurungkan niatnya untuk berpura-pura tidur pada sang suami. Di depan pintu, ia melihat suaminya menggendong seorang bayi. Bayi tanpa nama itu.

Sang istri segera menghambur merebut bayi dari dekapan Pius. “Kamu masih hidup, Nak,” Bayi itu dipeluk dan diciumi. “Bagaimana, Mas? Kenapa?” tanya sang istri pada Pius.

“Aku tidak sanggup melakukan hal itu. Aku tidak ingin menjadi orang yang dihantui rasa bersalah seumur hidup. Aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Aku menukar anak ini dengan boneka yang kubeli di tengah jalan.” Pius duduk di atas ranjang, di sebelah istrinya. “Seperti dugaanku, hanya ada beberapa orang di sana. Semua sudah disiapkan, hanya tinggal menunggu anak ini. 

“Mereka yang terlibat, juga masih manusia. Manusia baik yang hanya terpaksa melakukan hal itu. Sama sepertiku. Membunuh manusia akan sangat berat bagi mereka. Aku yakin, mereka tidak akan mau melihat anak ini. wajah yang akan membuat mereka tidak tenang seumur hidup. Aku tidak salah, saat datang aku langsung disuruh meletakkannya di tempat yang sudah disiapkan. Tidak lama kemudian, adukan beton langsung dituangkan, mengubur bungkusan yang mereka kira bayi manusia.”

“Syukurlah, Mas. Terima kasih karena kamu tidak melakukannya.” Sang istri memeluk Pius dengan erat. 

“Mulai sekarang, kamu tinggal bersama kami. Kami akan menjadi orang tuamu,” kata sang istri pada bayi yang terlihat lelah itu. “Boleh kan, Mas?” tanyanya pada sang suami.

“Iya, tentu saja. Dia anak kita sekarang. Tidak ada yang bisa mengambil anak ini dari kita.”
***
Dua bulan berlalu. Pius baru saja pulang dari acara peresmian jalan layang yang dikerjakannya. Di teras rumah, Pius disambut istri dan bayi yang tak jadi ia tumbalkan.

“Itu papah sudah pulang,” sambut sang istri bersama bayi di gendongannya. Bayi itu tertawa, kegirangan karena kedatangan sang ayah.

“Gimana kabarnya anak Papah? Tadi nakal nggak sama Mamah?”
“Enggak dong, Pah. Aku jadi anak baik dari tadi,” jawab sang istri, menyerupai suara anak kecil.
“Pinter. Sebagai hadiah, sini Papah gendong.”
Si anak kembali tertawa dalam gendongan Pius.
“Papah mau dibuatkan minum?”
“Boleh, Mah.”

Pius dan bayi itu bermain di halaman rumah sementara sang istri kembali ke dapur.
Dalam dekapan Pius, tiba-tiba bayi mungil itu menangis.

“Kamu kenapa, Nak?” Dilihatnya wajah si anak. Wajahnya mirip dengan seseorang yang ia kenal. Didekapnya kembali anak itu dengan hangat. “Kamu rindu pada ibumu? Yah, Papah juga rindu padanya. Ibumu sudah damai di alam sana. Semoga dia tidak marah dengan kebohongan Papah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun