Mohon tunggu...
Gerarda Anastasya Bisa
Gerarda Anastasya Bisa Mohon Tunggu... Mahasiswi di universitas lambung Mangkurat

Saya suka mengeksplor tempat tempat yang baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Amplang Banjarmasin: Antara Tradisi Kuliner, Inovasi UMKM dan Tantangan Daya Saing di Era Digital

11 Oktober 2025   21:19 Diperbarui: 11 Oktober 2025   21:19 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amplang Banjarmasin: Antara Tradisi Kuliner, Inovasi UMKM, dan Tantangan Daya Saing di Era Digital

Produk lokal sering kali tidak hanya berbicara tentang rasa, tetapi juga tentang sejarah, budaya, dan jati diri suatu daerah. Di Kalimantan Selatan, terutama di Kota Banjarmasin, amplang menjadi salah satu representasi paling kuat dari identitas masyarakat Banjar. Makanan ringan berbahan dasar ikan tenggiri atau ikan gabus ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, diproduksi secara rumahan, dan menjadi ikon oleh-oleh khas yang tidak pernah absen dari pasar lokal. Gurihnya amplang adalah rasa nostalgia masa kecil bagi banyak orang Banjar, tetapi di balik kenikmatan itu tersimpan perjuangan panjang para pelaku usaha kecil yang berupaya bertahan dalam arus globalisasi dan digitalisasi ekonomi yang kian cepat.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan penopang utama ekonomi Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia (2022) menunjukkan bahwa sektor UMKM berkontribusi lebih dari 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja nasional. Namun, di tengah kontribusi besar tersebut, sebagian besar pelaku UMKM masih menghadapi keterbatasan serius dalam manajemen, inovasi, dan pemanfaatan teknologi digital. Di lapangan, banyak usaha tradisional seperti amplang masih dijalankan secara turun-temurun tanpa rencana bisnis tertulis, tanpa pencatatan keuangan sistematis, dan tanpa strategi pemasaran digital yang terukur. Akibatnya, produk unggulan lokal berpotensi kalah bersaing di pasar yang kini semakin kompetitif dan visual.

Penelitian lapangan yang dilakukan terhadap lima pelaku UMKM amplang di Banjarmasin memberikan gambaran konkret mengenai kondisi tersebut. Seluruh responden merupakan pemilik usaha yang telah beroperasi lebih dari enam tahun, menunjukkan daya tahan dan keuletan luar biasa di sektor kuliner khas daerah. Lokasi produksi tersebar di Banjarmasin Utara, Tengah, Selatan, dan Timur, dengan jumlah tenaga kerja antara dua hingga delapan orang per unit usaha. Berdasarkan klasifikasi Badan Pusat Statistik (2022), usaha-usaha ini masuk kategori usaha mikro dan kecil. Menariknya, meskipun mereka beroperasi dalam keterbatasan fasilitas dan modal, sebagian besar mampu mempertahankan pelanggan tetap berkat kualitas rasa dan konsistensi produksi.

Tabel 1 berikut menggambarkan profil umum pelaku UMKM amplang di Banjarmasin yang menjadi responden penelitian.

Profil Umum Responden UMKM Amplang Banjarmasin
Profil Umum Responden UMKM Amplang Banjarmasin

Seluruh pelaku usaha yang diwawancarai menyatakan bahwa bisnis mereka bermula dari kegiatan keluarga yang kemudian berkembang menjadi usaha rumahan berorientasi pasar lokal. Mereka memproduksi amplang dengan bahan baku ikan segar, tepung tapioka, telur, dan bumbu khas. Produksi dilakukan secara manual menggunakan peralatan sederhana, dengan kapasitas rata-rata 10--15 kilogram bahan baku per hari. Proses produksi ini dilakukan tanpa bantuan mesin otomatis, sehingga efisiensi produksi masih terbatas. Namun, faktor tenaga kerja keluarga menjadikan biaya operasional relatif rendah, yang membantu keberlangsungan usaha di tengah fluktuasi harga bahan baku.

Dari sisi manajemen, penelitian menemukan bahwa aspek perencanaan bisnis dan pencatatan keuangan menjadi titik lemah paling menonjol. Sebanyak 80 persen pelaku usaha belum memiliki sistem pencatatan keuangan terstruktur, dan hanya dua dari lima pelaku (40 persen) yang memiliki rencana bisnis tertulis. Pencatatan keuangan umumnya dilakukan secara manual, bahkan sebagian masih mengandalkan ingatan pemilik usaha. Kondisi ini tentu menghambat akses terhadap pembiayaan formal, karena bank atau lembaga keuangan memerlukan bukti administrasi usaha untuk menilai kelayakan kredit. Namun, hampir seluruh responden (100 persen) menegaskan bahwa fokus utama mereka tetap pada kualitas produk.

Kondisi Manajerial UMKM Amplang di Banjarmasin
Kondisi Manajerial UMKM Amplang di Banjarmasin

Fenomena ini menunjukkan paradoks umum di sektor UMKM tradisional: kemampuan menjaga kualitas produk tidak selalu diimbangi dengan tata kelola usaha yang baik. Dalam teori kewirausahaan modern, seperti dijelaskan oleh Porter (1985) dan Barney (1991), daya saing tidak hanya berasal dari keunggulan produk (differentiation advantage), tetapi juga dari efisiensi manajerial dan pengelolaan sumber daya (resource-based advantage). Tanpa pencatatan keuangan dan rencana bisnis, pelaku UMKM cenderung kesulitan menilai profitabilitas dan merencanakan ekspansi usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun