Meski demikian, semangat inovasi pelaku usaha amplang cukup menggembirakan. Sebagian besar (80 persen) responden mengaku pernah melakukan inovasi, baik dari sisi rasa maupun kemasan. Varian baru seperti balado, jagung bakar, dan sambal acan menjadi contoh adaptasi mereka terhadap selera konsumen muda. Selain itu, desain kemasan juga mulai dimodernisasi dari plastik transparan sederhana ke bentuk standing pouch dengan label berwarna dan merek dagang. Langkah kecil ini meningkatkan citra produk di mata konsumen urban dan wisatawan. Temuan ini sejalan dengan hasil riset Elfyra dan Nurtjahjani (2023) yang menegaskan bahwa kemasan dan identitas visual merek memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian produk lokal.
Namun, dalam hal pemasaran digital, tingkat adopsinya masih rendah. Hanya satu dari lima pelaku usaha yang menggunakan media sosial secara aktif untuk promosi, dan hanya sebagian kecil yang pernah menjual produk melalui marketplace seperti Shopee atau Tokopedia. Mayoritas masih mengandalkan penjualan langsung dan sistem titip jual di toko oleh-oleh. Padahal, menurut penelitian Hafitasari, Adzani, dan Mafruhat (2022), UMKM yang mengintegrasikan media sosial dalam strategi pemasaran dapat meningkatkan volume penjualan hingga 30 persen. Kurangnya literasi digital dan keterbatasan waktu menjadi faktor utama yang menghambat proses transformasi ini.
Selain persoalan inovasi dan digitalisasi, dimensi sosial dan lingkungan juga menjadi sorotan penting. Seluruh pelaku usaha yang diteliti menyatakan bahwa kegiatan mereka membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Usaha amplang memberikan peluang kerja tambahan bagi keluarga dan tetangga, sekaligus menjaga kelestarian budaya kuliner Banjar. Para pelaku juga menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah plastik dan menjaga kebersihan tempat produksi. Praktik sederhana ini dapat menjadi fondasi awal bagi penerapan green entrepreneurship atau kewirausahaan ramah lingkungan, yang kini menjadi tren global dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan (UNDP, 2021).
Dari keseluruhan temuan, dapat disimpulkan bahwa kekuatan utama UMKM amplang di Banjarmasin terletak pada tiga pilar utama: orientasi terhadap kualitas produk, inovasi berbasis tradisi lokal, dan tanggung jawab sosial-lingkungan. Namun, tantangan yang harus dihadapi juga nyata, yakni lemahnya tata kelola usaha, keterbatasan akses digital, dan minimnya dukungan teknologi produksi. Dengan demikian, peningkatan daya saing UMKM amplang memerlukan sinergi antara pelaku usaha, pemerintah daerah, dan lembaga pendidikan. Pemerintah perlu menyediakan pelatihan pencatatan keuangan sederhana, bimbingan pemasaran digital, dan fasilitasi permodalan. Sementara itu, akademisi dapat berperan sebagai mitra riset dan inovasi, mengembangkan model bisnis berbasis budaya lokal dan keberlanjutan lingkungan.
Pada akhirnya, keberlangsungan amplang tidak hanya bergantung pada cita rasa dan aroma gurihnya, tetapi juga pada kemampuan pelaku usaha untuk beradaptasi dengan zaman. Amplang bukan sekadar makanan ringan; ia adalah cermin dari ketekunan ekonomi rakyat, kreativitas budaya, dan semangat bertahan di tengah persaingan global. Bila penguatan manajemen, inovasi produk, dan digitalisasi berjalan beriringan, bukan tidak mungkin amplang Banjarmasin dapat melangkah lebih jauh dari pasar lokal menuju pasar nasional, bahkan internasional sebagai produk kuliner unggulan Kalimantan Selatan yang bernilai ekonomi dan budaya tinggi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI