Tapi Kakeknya langsung menodong, "Apa kau pernah lihat ikan sebesar badanmu?" tanyanya. Ia menggeleng.
"Dulu mudah menemukan lebih besar darimu." Sambung Sang Kakek.
"Kakek bohong, kan?" Ia menganggap Kakeknya mengarang cerita.
"Eleh, eleh. Kau rasakan nanti. Bahkan taikmu akan sulit dihanyutkan."
Mengingat kata-kata itu, seketika ia menoleh ke belakang, dan benar saja balok-balok yang tadi menyiksanya masih belum hanyut.
Ia juga mengamati kalau dulu batu-batu raksasa banyak duduk bersahaja sepanjang badan Kali telah lenyap, hanya ada banyak tumpukan sisa pemotongan. Masih sedang meneliti perbedaan dulu dengan sekarang tangan kirinya seolah tau tugasnya, tanpa diperintah langsung bekerja. Perutnya sudah terasa aman. Sebelum menyentuh target, tiba-tiba mundur. Ia mengangkat tangan karena kaget melihat air tidak bening. Hitam pekat. Karena duburnya harus dicuci, ia memejamkan mata, lalu tangan kiri bekerja sebagaimana mestinya. Kelar. Lega.
Setelah mengangkat Celana dan berjalan ke tepian. Ia kembali terpaku, memandang arus yang perlahan berlalu. Sedih. Lamunannya kembali mengayuh lebih dalam ...
Burung Enggang melenggang di angkasa memecah keheningan. Tidak berpasangan. Sebab Burung yang sudah langka itu perhatiannya teralihkan. Semenjak Paruh Burung raksasa itu laku hingga ratusan juta, memang sudah jarang melintas. Banyak orang-orang mendadak suka makan Paruh.
"Kring! Kring!" Kembali hanphonenya mengganggu.
"Halo. Apa apa?" tanyanya.
"Halo, Bos. Kabarnya akan ada pemeriksaan limbah, Bos."