Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah K dan Istrinya

12 Maret 2018   02:25 Diperbarui: 12 Maret 2018   04:30 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Cosmopolitan.com (12/03/2018)

"Lebih baik murka karena kesalahanku daripada karena sadar dari kesalahan mereka sendiri."

"Maksudmu D?"

"Mau atau tidak? Atau... aku akan lari dengan orang lain K."

Meski suaramu dari seberang keruh, akibat hidup sinyal selalu dirundung galau, hidup sekarat matipun tidak, kata-katamu telah membuat otakku berputar cepat. Menghitung rugi kalau kau pergi dan laba jika kita bersama. Air mataku jatuh D.

Sungguh tidak dapat ditarik lagi saat Anak panah telah dilepas dari Busurnya. Kau tahu yang kita lakukan. Mungkin adat lain, di belahan bumi seberang masih bisa diulur hingga dibatalkan, di sini tidak D.

Tokoh adat dari pihakku dan kamu terpaksa berembuk hebat. Menyelesaikan masalah yang kita perbuat. Hatiku menunggu ragu. Tentu penyelesan sudah hinggap di benakku, mungkin juga kamu.

Biasanya pemecahan adat seperti pelarian kita akan bertemu titik terang pada satu babak. Tidak untuk kita. Tokoh adat sudah dua kali adu mulut di kampung tembunimu. Belum kelar. Kali ini berpindah kedudukan di kampungku, tepat di hari ketiga kita berbuat nekat lalu. Kalau kau tau prosesi adat paling rumit, pertemuan ketiga ini akan menemui titik terang, dengan segala kerawanan rusuhnya.

Aku sudah diungsikan ke pondok sawah, demi menghindari ketegangan yang hinggap ke telingaku. Walaupun kenyataannya aku sudah kenyang, kata-kata umpatan dari keluargaku telah berhasil menghalang rasa lapar. Kata sepupuku sebab itu aku diasingkan sementara, takut jika kalap.

Semula sepupuku yang menemaniku di pondok sawah berada di Balai Adat Kampungmu, saat pertemuan pertama dan kedua. Darinya aku tau, keluargamu meminta tembusan dengan nama disamarkan adat, yang mustahil disanggupi keluargaku. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya---karena pendidikanmu telah membedakan dari perempuan kebanyakan. Kau sudah tidak dipantaskan bersanding denganku.

Membayangkan Pedang bapak yang dibawa paman ke Balai Adat kian membuat hatiku ngilu, meskipun itu bersarung. Pedang itu digunakan sebagai simbolis, bahwa tokoh adat pihakku tidak sanggup lagi menanggapi tawaran dari tokoh adat pihakmu. Artinya adatku telah menetapkan tawaran tertinggi, yang itu pun nantinya akan sangat sulit mengabulkannya, kalau tokoh adatmu tidak terima biar pedang itu menyelesaikan kesalahan yang kita buat. Apa tidak menakutkan menurutmu D?

"Tak ada yang hendak bermain api. Apa mau dikata kalau bara telah diinjak. Wali seorang anak adalah bapaknya. Dengan memohon ridho dari yang Kuasa dan meminta maaf dari saudara. Karena Anak kami telah mencipta petaka. Dengan Pedang ini kami telah melampaui kemampuan. Mohon kiranya adat menerima." Kata-kata seperti itu biasanya memutus tawar-menawar pembayaran yang tidak bisa disepakati secara damai. Konon pendahulu kita telah ada berperang pada kejadian serupa. Napasku sesak membayangkan yang tidak-tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun